23/02/12

Teori Komunikasi Interpretif dan Kritis

Teori Komunikasi membahas tentang berbagai pendekatan dalam keilmuan, pengertian dan model komunikasi, lingkup teori komunikasi, perspektif dalam ilmu komunikasi, teori dan model KAP, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa serta teori komunikasi interpretatif dan kritis.

Teori-Teori Feminis dan “Muted Group”
Pada dasarnya pendekatan kritis penerapan nilai – nilai untuk membuat penilaian terhadap pencapaian perubahan yang positif. Pendekatan kritis telah diterapkan pada berbagai fenomena komunikasi. Kritik retorika misalnya, dengan cermat mempelajari dan menilai efektifitas percakapan dan bentuk – bentuk komunikasi lainnya.

Kritik, estetika, mempelajari kualitas artistik pada pesan atau medium ekspresi lainnya. Meskipun penting, kedua topik tersebut tidak akan dibahas dalam bagian ini. Subjek bahasan kita adalah dengan ilmu sosial kritis, yang merupakan pengamatan kristis terhadap struktur-struktur sosial.

Teori Feminis
Teori feminis adalah sebutan yang diberikan pada perspektif atau kelompok teori yang menggali makna dari konsep-konsep gender. Teoritis feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan yang sebenarnya terlepas dari aspek biologis (jenis kelamin) dipahami dalam kualitas gender, termasuk bahasa, karya, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Kritik feminis ditunjukan untuk mengungkap kekuatan dan keterbatasan dalam hubungan gender.

Teori feminis dimulai dari dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia. Gender adalah suatu konstruksi sosial yang, meskipun perlu, telah didominasi oleh laki-laki dan menindas perempuan. Teori feminis ditujukan untuk menantang asumsi-asumi gender yang berlaku luas dalam masyarakat dan untuk mencapai cara-cara yang membebaskan perempuan dan laki-laki dan menindas perempuan.

Teori feminis ditunjukkan untuk menantang asumsi -asumsi gender yang berlaku dalam masyarakat dan untuk mencapai cara-cara yang membebaskan perempuan dan laki-laki untuk eksis di dunia. Dengan demikian, teori feminis diartikan sebagai radikal: menyentuh akar dari pengalaman manusia dan menyuaraka perubahan dalam budaya sosial dan struktur linguistic yang menentukan hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Kritik feminis menjadi semakin populer dalam studi komunikasi. Kritik ini mempelajari :
  1. Gejala dinama bahasa yang bisa laki-laki (mendominankan kedudukan laki-laki) akan mempengaruhi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
  2. Gejala dimana dominasi laki-laki telah membatas komunikasi bagi perempuan.
  3. Gejala dimana perempuan memiliki pola-pola percakapan dan bahasa laki-laki yang akomodatif dan menentang, kekuatan bentuk -bentuk komunikasi yang feminism, dan gejala sejenis lainnya. Bagian berikut ini akan menyajikan ringkasan dari suatu teori feminis tentang komunikasi yang mengandung banyak tema yang dikenal dalam literature mengenai perempuan dan komunikasi.

Teori Kelompok yang Bungkam (Muted Group Theory)
Teori kelompok bungkam ini dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shrirly Ardener. Edwin Ardener mengamati bahwa antropolog cenderung untuk menandai suatu budaya dengan pengertian yang maskulin: “Kenyataannya adalah bahwa tidak seorang pun dapat kembali dari suatu studi etnografi tentang “Y”, karena telah berbicara hanya pada perempuan, dan mengenai laki-laki, tanpa komentar yang professional dan sedikit keraguan, seperti yang sebaliknya terjadi secara terus menerus”. Dengan kata lain, etnografi cenderung bias terhadap pengamatannya pada laki-laki dalam suatu budaya.

Meskipun demikian, melalui pengamatannya yang lebih dalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat didalamnya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibungkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya alam dunia yang didominasi laki-laki.

Shirley Ardener menambahkan pada teori tersebut dengan menunjukkan bahwa diamnya perempuan memiliki beberapa alasan dan ini terbukti dalam situasi percakapan ekspresif dalam situasi publik di banding dalam situasi pribadi. Konsekuensinya, perempuan memantau perilaku komunikasinya secara lebih intensif disbanding laki-laki.

Perempuan memperhatikan apa yang dikatakannya dan menerjemahkan apa yang dirasakan dan pikirkan kedalam terminology laki-laki. Ketika makna dan ekspresi maskulin dan feminism konflik, laki – laki cenderung memenangkannya karena dominasi laki – laki dalam masyarakat. Jadi perempuan adalah, tetap, sebagai pihak yang terbungkam. Teoretisi komunikasi Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi.

Dia mengemukakan asumsi – asumsi dari teori ini sebagai dasar dari teori ini sebagai berikut :
1. Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki – laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
2. Karena dominasi politiknya, system presepri laki – laki menjadi lebih dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternative perempuan.
3. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif mereka ke dalam system ekspresi yang dapat diterima laki – laki.
Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian.

Pertama, perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri disbanding laki-laki. Ekspresi laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.

Kedua, perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki dari pada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal: Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut; perempuan lebih sering menjadi objek dari pengalaman dari pada laki-laki; laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas; jadi perempuan harus mempelajari system komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-laki mengisolasi dirinya dari sistem perempuan.

Ketiga, Perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem laki-laki yang dominan. Surat, diary, kelompok-kelompok penyadaran, dan bentuk-bentuk seni alternative adalah beberapa contohnya.

Perempuan lebih mengandalkan ekspresi nonverbal dan menggunakan bentuk-bentuk non-verbal yang berbeda dengan yang digunakan laki-laki, karena mereka secara verbal dibubgkam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa, misalnya, ekspresi wajah, vocal pauses dan gerak tubuh lebih penting dalam komunikasi perempuan disbanding komunikasi laki-laki. Perempuan juga cenderung menunjukkan lebih banyak perubahan ekspresi dalam percakapan.
Keempat, perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpastian tentang komunikasi dibandingkan laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai personal merkea dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki – laki. Puisi perempuan misalnya, acapkali mengekspresikan hal ini, dan penulis serta pembicara sesekali menyatakan perasaannya akan hambatan yang diciptakan oleh kebiasan – kebiasaan umum dalam bidang – bidang tersebut.

Kelima, perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan – aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan – aturan konvensional. Himbauan bagi kebebasan perempuan misalnya, telah melahirkan kata – kata baru seperti “Ms.” Dan “hestory” dan telah mengembangkan bentuk - bentuk komunikasi berbeda yang melibatkan pengalaman – pengalaman perempuan. Kelompok – kelompok penyadaran adalah salah satu contohnya.

Keenam, secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata – kata baru yang populer dalam masyarakat luas ; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribuasi terhadap bahasa.
Terakhir, perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda daripada laki – laki. Karena permupuan memiliki metode konseptaualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu tampak lucu bagi laki – laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

Teori kelompok bungkam adalah suatu contoh menarik dari teori komunikasi kritis. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam penindasan, dan memberikan arah bagi perubahan yang positif.

Ketika teori feminis berkutat dengan pembagian konsepsi gender atas maskulin dan feminim, sejumlah orang mempertanyakan manfaat dari dualismeini. Meskipun pembedaan maskulin – feminism dapat berguna, namun terasa sangat menyederhanakan dan menciptakan konseptualisasi yang tidak secara tepat mencerminkan realitas. Pemberian label semacam itu pada kenyataanya justru mempertajam pembedaan (antara laki – laki dan perempuan) yang sebenarnya dicoba diatasi oleh kaum feminis. Linda Putnam menjelaskannya sebagai berikut :

“Persoalan reifikasi, pengguna label feminis telah menimbulkan efek pengakuan eksistensi perempuan tetapi sekaligus juga mengisolasi mereka”. Dan lagi, “usaha untuk menghapus perilaku pembedaan (degenderize) memiliki potensi untuk membebaskan kita dari klasifikasi peran berdasarkan jenis kelamin yang muncul dari dualism.” Jawabannya, menurut Putman, adalah bukan dengan mengabaikan teori komunikasi secara berbeda. Dari pada sekedar menganggap bahwa gender adalah penyebab bagi efek – efek lainnya, kita harus mempelajari pula cara – cara dimana pola – pola komunikasi telah membawa pada perbedaan gender itu sendiri.


Teori Konstruksi Sosial Media Massa
Peter L. Berger dan Luckmann menjelaskan konstruksi sosial atas realitas melalui ”The Social Constructiono Reality, a Treatisein the Sociological of Knowledge” (1966). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Tiga proses ini terjadi di antara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter.L.Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.

Pada kenyataan konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, dan sebagainya. Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter.L.Berger dan Luckmann ini memiliki kemandulan atau dengan kata lain tak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat telah habis dan berubah menjadi masyarakat modern dan post-modern, dengan demikian hubungan-hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semi-sekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter. L. berger dan Luckmann menjadi tak bermakna lagi.

Melalui Konstruksi Sosial Media Massa; Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik (2000), teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter. L. Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjektivitasi, dan internalisasi.

Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi "teori konstruksi sosial media massa" adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang tekonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opioni massa cenderung sinis.

Posisi ”konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi substansi kelemahan dan melengkapi "konstruksi sosial atas realitas”, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan ”konstruksi sosial media massa” atas ”konstruksi sosial atas realitas”. Namun proses simultan yang digambarkan diatas tidak bekerja secara tiba-tiba, namun terbentuknya proses tersebut melalui beberapa tahap penting. Dari konten konstruksi sosial media massa, proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut:
  1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
  2. Tahap sebaran konstruksi
  3. Tahap pembentukan konstruksi, dan
  4. Tahap konfirmasi.
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan Id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dans sebagainya.
Ia mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta. Aristoteles pula lah yang memperkenalkan ucapannya "cogito ergo sum", "saya berpikir karena itu saya ada".

Asumsi dasar Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann adalah sebagai berikut :
  1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
  2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan
  3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus
  4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepeda kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi.

Proses konstruksinya berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yaitu :
  • Objective reality
  • Symbolic reality
  • Subjective reality
Objective reality: Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
Symbolicum reality: Merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai ’objectivity reality”, misalnya teks produk industri media seperti berita di media cetak atau elektronika, dan film.
Subjectivity reality: Merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subyektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru

Konstruksi sosial mengandung dimensi objektif dan subjektif. Ada dua hal yang menonjol dalam melihat reaalitas peran media dalam dimensi objektif, yaitu pelembagaan dan legitimasi.
  1. Pelembagaan, dalam perspektif Berger, pelembagaan terjadi ketika semua kegiatan manusia mengalami pembiasaan. Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu.
  2. Legitimasi, menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif
Kalau pelembagaan dan legitimasi merupakan dimensi objektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subjektifnya. Analisis Berger mengatakan bahwa individu dilahirkan dengan suatu predisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa objektif sebagi pengungkapan makna. Kesadaran individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...