24/02/12

Komunikasi Verbal dan Nonverbal


Tiga ciri utama yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal dan nonverbal.
  • Lambang-lambang non-verbal digunakan paling awal sejak kita lahir di dunia ini, sedangkan setelah tumbuh pengetahuan dan kedewasaan kita, barulah bahasa verbal kita pelajari.
  • Komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding komunikasi non-verbal. Bila kita pergi ke luar negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh masyarakat di negara tersebut, kita bisa menggunakan isyarat-isyarat non-verbal dengan orang-orang yang kita ajak berkomunikasi.
  • Komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa non-verbal yang lebih merupakan aktivitas emosional. Artinya, bahwa dengan bahasa verbal, sesungguhnya kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak, sementara melalui bahasa nonverbal, kita mengkomunikasikan hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian, perasaan dan emosi yang kita miliki.
Definisi
Don Stacks dalam bukunya Introduction to Communication Theory menjelaskan bahwa perhatian untuk mempelaji aspek-aspek dalam komunikasi non-verbal masih sangat kecil, sehingga dari banyak referensi tentang komunikasi antar manusia, kita lebih banyak menemukan batasan mengenai komunikasi verbal. Dicontohkannya Frank E.X Dance dan Carl E. Larson menawarkan lebih dari seratus definisi tentang komunikasi verbal.

Secara sederhana, komunikasi non-verbal dapat didefinisikan sebagai berikut: Non berarti tidak, Verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi non-verbal dimaknai sebgai komunikasi tanpa kata-kata.

Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut dengan vocal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut dan verbal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata.

Dengan demikian, definisi kerja dari komunikasi non-verbal adalah pesan lisan dan bukan lisan yang dinyatakan melalui alat lain di luar alat kebahasaan (oral and non-oral messages expressed than linguistic means).

Tipe-tipe komunikasi berikut ini :
Sumber : Ronald B. Adler, George Rodman, Understanding Human Communication, Second edition, hal. 96
Tabel tipe-tipe komunikasi diatas dapat dibaca sebagai berikut: komunikasi verbal yang termasuk dalam komunikasi vokal adalah bahasa lisan, sedang yang tergolong dalam komuikasi non-vokal adalah bahasa tertulis. Sementara komunikasi non-verbal yang termasuk dalam komunikasi vokal adalah nada suara, desah, jeritan dan kualitas vocal; dan yang termasuk dalam klasifikasi komunikasi non-vokal adalah isyarat, gerakan (tubuh), penampilan (fisik), ekspresi wajah dan sebagainya. Atau kita dapat membaca tabel diatas secara terbalik, diawali dengan komunikasi vokal dan non-vokal terlebih dahulu.

Batasan lain mengenai komunikasi non-verbal dikemukakan oleh beberapa ahli lainnya, yaitu :
  1. Frank E.X. Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi non-verbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content for meaning).
  2. Edward Sapir: Komunikasi non-verbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak dimana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere, known to none, and understood by all).
  3. Malandro dan Barker yang dikutip dari Ilya Sunarwinadi: komunikasi Antar Budaya memberikan batasan-batasannya sebagai berikut :
  • Komunikasi non-verbal adalah komunikasi tanpa kata-kata
  • Komunikasi non-verbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara
  • Komunikasi non-verbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi makna oleh orang lain
  • Komunikasi non-verbal adalah studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.
Perbedaan antara Komunikasi Verbal dan Non-Verbal
Secara sekilas telah diuraikan pada bagian awal tulisan ini, bahwa antara komunikasi verbal dan non-verbal merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dalam arti kedua bahasa tersebut bekerja bersama-sama untuk menciptakan suatu makna. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan-perbedaan.

Dalam pemikiran Don Stacks dkk. ada tiga perbedaan utama diantara keduanya yaitu kesengajaan pesan (the intentionality of the massage), tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in the act or message), dan mekanisme pemrosesan (processing mechanism).

Kesengajaan
Satu perbedaan utama antara komunikasi verbal dan non-verbal adalah persepsi mengenai niat (intent). Pada umumnya niat ini menjadi lebih penting ketika kita membicarakan lambang atau kode verbal.
Michael Burgoon dan Michael Ruffner menegaskan bahwa sebuah pesan verbal adalah komunikasi, kalau pesan tersebut :
  1. Dikirimkan oleh sumber dengan sengaja
  2. Diterima oleh penerima secara sengaja pula
Komunikasi non-verbal tidak banyak dibatasi oleh niat (intent) tersebut. Persepsi sederhana mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan menjadi komunikasi non-verbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung kurang dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan dengan komunikasi verbal. Selain itu, komunikasi non-verbal mengarah pada norma-norma yang berlaku, sementara niat atau intent tidak terdefinisikan dengan jelas. Misalnya, norma-norma untuk penampilan fisik. Kita semua berpakaian , namun beberapa sering kita dengan sengaja berpakaian untuk sebuah situasi tertentu? Beberapa kali seorang teman member komentar terhadap penampilan kita ? persepsi receiver mengenai niat ini sudah cukup untuk memenuhi persyaratan guna mendefinisikan komunikasi nonverbal.

Perbedaan-perbedaan Simbolik (Symbolic Differences)
Kadang-kadang niat (intent) ini dapat dipahami karena beberapa dampak simbolik dari komunikasi kita. Misalnya, memakai pakaian dengan warna atau model tertentu, mungkin akan dipahami sebagai suatu ‘pesan’ oleh orang lain (misalnya berpakaian dengan warna hitam akan diberi makna sebagai ungkapan ikut berduka cita).

Komunikasi verbal dengan sifat-sifatnya merupakan suatu bentuk komunikasi yang diantarai (mediated form of communication). Dalam arti kita mencoba mengambil kesimpulan terhadap makna apa yang diterapkan pada suatu pilihan kata. Kata-kata yang digunakan adalah abstraksi yang telah disepakati maknanya, sehingga komunikasi verbal bersifat intensional dan harus ‘dibagi’ diantara orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi.

Sebaliknya, komunikasi non-verbal lebih alami, ia beroperasi sebagai norma dan perilaku yang didasarkan pada norma. Mehrabian menjelaskan bahwa komunikasi verbal dipandang lebih eksplisit dibanding bahasa non-verbal bersifat implicit. Artinya, isyarat-isyarat verbal dapat didefinisikan melalui sebuah kamus yang eksplisit dan lewat aturan-aturan sintaksis, namun hanya ada penjelasan yang samar-samar dan informal mengenai signifikansi beragam perilaku non-verbal.

Mengakhiri bahasan mengenai perbedaan simbolik ini, kita mencoba untuk melihat ketidaksamaan antara tanda (sign) dengan lambang (symbol). Tanda adalah sebuah representasi alami dari suatu kejadian atau tindakan. Ia adalah apa yang kita lihat atau rasakan. Sendangkan lambang mempresentasikan tanda melalui abstraksi.

Komunikasi verbal lebih spesifik dari bahasa non-verbal, dalam arti ia dapat dipakai untuk membedakan hal-hal yang sama dalam sebuah cara yang berubah-ubah, sedangkan bahasa kontroversi lebih mengarah pada reaksi-reaksi alami seperti perasaan atau emosi.

Mekanisme Pemprosesan
Perbedaan ketiga antara komunikasi verbal dan non-verbal berkaitan dengan bagaimana kita memproses informasi. Semua informasi termasuk komunikasi diproses melalui otak, kemudian otak kita tersebut menafsirkan informasi ini lewat pikiran yang berfungsi mengendalikan perilaku-perilaku fisiologis (refleks) dan sosilogis (perilaku yang dipelajari dan perilaku social).

Satu perbedaan utama dalam pemrosesan ada dalam tipe informasi pada setiap belahan otak. Secara tipikal, belahan otak sebelah kiri adalah tipe informasi yang lebih tidak berkesinambungan dan berubah-ubah, sementara belahan otak sebelah kanan, tipe informasinya lebih berkesinambungan dan alami.

Berdasarkan pada perbedaan tersebut, pesan-pesan verbal dan non-verbal berbeda dalam konteks struktur pesannya. Komunikasi non-verbal kurang terstruktur. Aturan-aturan yang ada ketika berkomunikasi secara non-verbal adalah lebih sederhana dibanding komunikasi verbal yang mempersyaratkan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis. Komunikasi non-verbal secara tipikal diekspresikan pada saat tindak komunikasi berlangsung.

Tidak seperti komunikasi masa lalu atau komunikasi masa mendatang. Selain itu, komunikasi non-verbal mempersyaratkan sebuah pemahaman mengenai konteks dimana interaksi tersebut terjadi, sebaliknya komunikasi verbal justru menciptakan konteks tersebut.

Beberapa Pendekatan dalam Teori Komunikasi Non-verbal
Permulaan dari studi komunikasi non-verbal modern seringkali diidentifikasikan dengan karya Darwin, "The Expression of Emotions in Man and Animals". Perhatian Darwin terhadap komunikasi non-verbal terutama berkaitan dengan fungsinya sebagai sebuah teori untuk menjelaskan mengenai penampilan (theory of performance), sebuah cara berpidato yang mengindentifikasikan suasana hati, sikap atau perasaan.
Dari karya Darwin ini, perhatian komunikasi non-verbal telah memunculkan kajian antar disiplin. Dari hasil karyanya pula, telah dikembangkan tiga perspektif teoritis, yaitu the ethological approach (studi mengenai kesamaan-kesamaan antara perilaku manusia dengan perilaku binatang), the anthropological approach dan the functional approach.

Ethological Approach (Pendekatan Etologi)
Menurut Darwin, emosi manusia seperti halya emosi dari binatang dapat dilihat dari wajahnya. Darwin mengasumsikan bahwa komunikasi non-verbal dari makhluk hidup yang berbeda sebenarnya adalah sama. Orang-orang yang mendukung pandangannya seperti Morris, Ekman dan Friesen percaya bahwa ekspresi non-verbal pada budaya manapun esensinya sama, karena komunikasi non-verbal tidak dipelajari, ia adalah bagian alami dari keberadaan manusia. Dua contoh etologis yang sering disebut-sebut adalah senyuman dan ekspresi wajah yang dapat ditemukan pada kultur manapun juga.

Teori Struktur Kumulatif
Dalam teorinya ini, Ekman dan Friesen memfocuskan analisisnya pada makna yang diasosiasikannya dengan kinesic. Teori mereka disebut 'cumulative structure' atau ‘meaning centered’ karena lebih banyak membahas mengenai makna yang berkaitan dengan gerak tubuh dan ekspresi wajah ketimbang struktur perilaku. Mereka beranggapan bahwa seluruh komunikasi non-verbal merefleksikan dua hal: apakah suatu tindakan yang disengaja dan apakah tindakan harus menyertai pesan verbal.

Hal ini dapat dicontohkan pada kasus ketika seseorang menceritakan kepada gerak tangannya yang menunjukkan tinggi dan ekpresi wajah yang gembira. Gerak tangan yang menunjukkan tinggi ini tidak akan memiliki arti tanpa disertai ungkapan verbal, jadi tindakan ini disengaja dan memiliki makna tertentu. Lain halnya dengan wajah yang gembira, yang dapat berdiri sendiri dan dapat diartikan tanpa bantuan pesan verbal. Meskipun demikian, kedua tindakan tersebut telah manambahkan kepada makna yang berkaitan dengan interaksi antara kedua orang tersebut, dan ini oleh Ekman dan Friesen disebut sebagai ‘expressive behavior’.

Selanjutnya, Ekman dan Friesen mengidentifikasi lima kategori dari expressive behavior yaitu emblem, illustrator, regulator dan penggambaran perasaan, dimana masing-masing memberikan kedalaman pada makna yang berkaitan dengan situasi komunikasi.

Emblem adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang memiliki nilai sama dengan pesan verbal, yang disengaja, dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan pesan verbal. Contohnya adalah setuju, pujian atau ucapan selamat jalan yang dapat digantikan dengan anggukan kepala, acungan jempol, atau lambaian tangan.

Illustrator adalah gerakan tubuh atau ekspresi wajah yang mendukung dan melengkapi pesan verbal. Misalnya raut muka yang serius ketika memberikan penjelasan untuk menunjukkan bahwa yang dibicarakan adalah persoalan serius, atau gerakan tangan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dibicarakan.

Regulator adalah tindakan yang disengaja yang biasanya digunakan dalam percakapan, misalnya giliran berbicara. Bentuk-bentuk lain dari regulator dalam percakapan antara lain adalah senyuman, anggukan kepala, tangan yang menunjuk, mengangkat alis, orientasi tubuh, dan sebagainya, yang kesemuanya berperan dalam mengatur arus informasi pada suatu situasi percakapan.

Adaptor yaitu tindakan yang disengaja, yang digunakan untuk menyesuaikan tubuh dan menciptakan kenyamanan batu tubuh atau emosi. Terdapat dua subkategori dari adaptor, yaitu ‘self’ (seperti menggaruk kepala, menyentuh dagu atau hidung) dan ‘object (menggigit pensil, memainkan kunci). Perilaku ini biasanya dipandang sebagai refleksi kecemasan atau perilaku negatif.

Pengambaran emosi atau effect display yang dapat disengaja maupun tidak, dapat menyertai pesan verbal maupun berdiri sendiri. Menurut Ekman dan Friesen, terdapat tujuh bentuk affect display yang berbeda dapat diungkap secara bersamaan dan bentuk seperti ini disebut affect blend.

Teori Tindakan (Action Theory)
Morris juga mengemukakan suatu pandangan mengenai kinesic yang lebih didasarkan pada tindakan. Dia mengasumsikan bahwa perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya, melainkan terbagi ke dalam suatu rangkaian panjang peristiwa yang terpisah-pisah. Menurutnya, terdapat lima kategori yang berbeda dalam tindakan yaitu;
  • Inborn (pembawaan) merupakan instink yang memiliki sejak lahir, seperti perilaku menyusu
  • Discovered (ditemukan), diperoleh secara sadar dan terbatas pada struktur genetic tubuh, seperti menyilangkan kak
  • Absorp (diserap), diperoleh secara tidak sadar melalui interaksi dengan orang lain (biasanya teman) seperti meniru ekspresi atau gerakan seseorang.
  • Trained (dilatih), diperoleh dengan belajar, seperti berjalan, mengetik, dan sebagainya.
  • Mixed (campuran), diperoleh melalui berbagai macam cara yang mencakup keempat hal di atas.

Anthropological Approach (Pendekatan Antropologi)
Pendekatan antropologis menganggap komunikasi non-verbal terpengaruh oleh kultur atau masyarakat, dan pendekatan ini diwakili oleh dua teori yang dikemukakan oleh Birdwhistell dan Edward T. Hall.

Analogi Lingustik
Dalam teorinya ini Birdwhistell mengasumsikan bahwa komunikasi non-verbal memiliki struktur yang sama dengan komunikasi verbal. Bahasa distrukturkan atas bunyi dan kombinasi bunyi yang membentuk apa yang disebut dengan kata. Kombinasi kata dalam suatu konteks akan membentuk kalimat, dan berikutnya kombinasi kalimat akan membentuk paragraph. Birdwhistell mengemukakan bahwa hal yang sama terjadi dalam konteks non-verbal, yaitu terdapat ‘bunyi non-verbal’ yang disebut allokines (suatu gerakan tubuh terkecil yang sering kali tidak dapat dideteksi). Kombinasi allokines akan membentuk kines dalam suatu bentuk yagn serupa dengan bahasa verbal, yang dalam teori ini disebut sebagai analogi linguistic.

Teori ini mendasarkan penjelasannya pada enam asumsi sebagai berikut:
  1. Terdapat tingkat saling ketergantungan yang tinggi antara kelima indera manusia, yang bersama-sama dengan ungkapan verbal akan membentuk ‘infracommunicational system’.
  2. Komunikasi kinesic berbeda antar kultur dan bahkan antara mikrokultur.
  3. Tidak ada symbol bahasa tubuh yang universal
  4. Prinsip-prinsip pengulangan tidak terdapat pada perilaku kinesic
  5. erilaku kinesic lebih primitif dan kurang terkendali dibanding komunikasi verbal
  6. Kita harus membandingkan tanda-tanda non-verbal secara berulang-ulang sebelum kita dapat memberikan interpretasi yang akurat
Keenam prinsip yang mendasari analogi linguistic ini pada dasarnya menyatakan bahwa kelima indera kita berinteraksi atau bekerja bersama-sama untuk menciptakan persepsi, dan dalam setiap situasi, satu atau lebih indera kita akan mendominasi indera lainnya. Menurut Birdwhistell, perilaku kinesic bersifat unik bagi tiap kultur atau sub-kultur, sehingga perbedaan individu dalam komunikasi nonverbal merupakan fungsi kultur atau subkultur di mana individu tersebut berada. Oleh karenanya, kultur harus diperhitungkan dalam studi tentang komunikasi non-verbal.

Prinsip ketiga menegaskan kembali bahwa perilaku non-verbal lebih banyak diperoleh sebagai hasil belajar daripada faktor genetik yang diturunkan antar generasi. Dia juga menganggap bahwa komunikasi non-verbal lebih bersifat melengkapi komunikasi verbal daripada mengulang atau menggantikannya yaitu keduanya bekerja bersama-sama dalam menghasilkan makna. Dan akhirnya, karena komunikasi non-verbal tidak selalu dilakukan secara sadar lebih bersifat primitive, kita cenderung melupakan apa yang kita katakan secara nonverbal.

Birdwhistell menjelaskan bahwa fenomena parakinesic (yaitu kombinasi gerakan yang dihubungkan dengan komunikasi verbal) dapat dipelajari melalui struktur gerakan. Struktur ini mencakup tiga factor yaitu; intensitas dari tegangan yang tampak dari otor, durasi dari gerakan yang tampak, dan luasnya gerakan. Dari factor-factor ini kita dapat menganalisis berbagai klasifikasi gerakan / perilaku yang meliputi allokine, kine, kineme.

Analogi Kultural
Analogi cultural yang dikemukakan oleh Edward T. Hall membahas komunikasi non-verbal dari aspek proxemics dan chronemics. Teori Hall mengenai proxemics mengacu kepada penggunaan ruang sebagai ekspresi specific dari kultur. Teori Hall mencakup batasan-batasan mengenai ruang yang disebutnya sebagai lingkungan, territorial, dan personal. Lebih lanjut dia mengemukakan adanya tiga jenis ruang masing-masing dengan norma dan ekspektasi yang berbeda, yaitu informal space, ruang terdekat yang mengitari kita (personal space), fixed feature space yaitu benda disekitar lingkungan dekat kita yang realatif sulit bergerak atau dipindahkan seperti rumah, tembok dan lain-lain. Semifixed-feature space yaitu barang-barang yang dapat dipindahkan yang berada dalam fixed-feature space.

Salah satu aspek terpenting dari teori Hall adalah kajiannya mengenai preferensi dalam personal space. Menurutnya, preferensi ruang seseorang ditentukan oleh tujuh faktor yang saling berkaitan yang tedapat dalam tiap kultur. Yang pertama adalah Jenis kelamin dan posisi dari setiap orang yang saling berinteraksi, yaitu lelaki atau perempuan dan apakah mereka duduk, berdiri dan sebagainya. Kedua, sudut pandang yang terbentuk oleh bahu dan dada/pungung dari orang yang berkomunikasi yang berada dalam jarak sentuhan (factor kinesthetic). Ketiga, sentuhan dan jenis sentuhan (factor zero-proxemic). Keempat, frekuensi dan cara-cara kontak mata (factor visual code). Kelima, persepsi tentang panas tubuh yang dapat dirasakan ketika berinteraksi (factor thermal code). Keenam, odor atau bau yang tercium ketika berinteraksi. Tujuh, kerasnya atau volume suara dalam interaksi.

Dalam analisisnya mengenai chronemics atau waktu sebagai salah satu tanda non-verbal, Hall mengemukakan bahwa norma-norma waktu ditentukan dalam berbagai kultur dalam bentuknya yang berbeda-beda. Waktu memiliki apa yang disebut dengan formal-time, informal-time, dan technical-time. Formal-time mencakup susunan dan siklus, memiliki nilai, memiliki durasi dan kedalaman. Informal time biasanya didefinisikan secara longgar dalam kultur, dan bekerja pada tataran psikologis dan sosiologis serta diungkapkan melalui individu atau kelompok.

Sosialisasi
Melalui cara sosialisasi masyarakat akan mengetahui peranan masing-masing dalam masyarakat, karenannya kita dapat bertingkah laku sesuai dengan peranan sosial masing-masing. Dalam usaha menjamin kelangsungan keadaan masyarakat yang tertib, disamping itu kita menjalankan proses-proses sosialisasi juga harus melaksanakan suatu usaha yang lainnya, yaitu usaha untuk melaksanakan kontrol sosial. Kontrol sosial adalah proses yang ditempuh dan semua sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk membatasi kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran norma sosial oleh individu-individu warga masyarakat.

Proses sosialisasi merupakan suatu proses yang amat besar signifikannya bagi kelangsungan keadaan tertib masyarakat. Artinya hanya hanya lewat proses-proses sosialisasi itu sajalah norma-norma social yang menjadi determinan segala kegiatan tertib social itu dapat diwariskan dn diteruskan dari generasi ke generasi (dengan ataupun tanpa perubahan. Tanpa mengalami proses sosialisasi yang memadai tidak mungkin seseorang warga masyarakat akan dapat hidup normal tanpa menjumpai kesulitan dalam masyarakat. Hanya lewat proses-proses sosialisasi ini sajalah generasi-generasi muda akan dapat belajar bagaimana seharusnya bertingkah pekerti didalam kondisi dan situasi-situasi tertentu.

Kesulitan-kesulitan yang cukup besar pasti akan menimpa setiap individu yang tidak berkesempatan mendapatkan sosialisasi yang memadai yang karenanya akan gagal didalam usaha-usahanya untuk menyesuaikan diri dangan nerma-norma sosial, khususnya dengan tingkah pekerti, tingkah pekerti orang lain di dalam masyarakat.

Bagi masyarakat sendiri, kegagalan-kegagalan demikian tentu saja akan dirasakan pula sebagai sesuatu hal yang amat menyulitkan dan pastikan akan mengganggu kelangsungan keadaan tertib masyarakat. Demikian sesungguhnya, sosialisasi harus dilaksanakan bukan hanya untuk kepentingan masyarakat saja, tetapi sekaligus dirasakan pula sebagai kepentingan warga masyarakat sendiri secara individu.

Media dan Efek

Pengaruh Komunikasi Massa Terhadap Individu
Pada umumnya studi mengenai komunikasi massa berkaitan dengan persoalan efek komunikasi massa. Efek atau pengaruh ini telah menjadi pusat perhatian bagi berbagai pihak dalam masyarakat yang melalui pesan-pesan yang hendak disampaikannya berusahan untuk menjangkau khalayak yang diinginkan. Oleh karenanya, mereka akan berusaha untuk menemukan saluran yang paling efektif untuk dapat mempengaruhi audience.

Stimulus – Respons
Prinsip stimulus-respons pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimuli tertentu. Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience. Elemen-elemen utama dari teori ini adalah:
  1. Pesan (stimulus)
  2. Receiver (organism)
  3. Efek (Respons)
Prinsip stimulus-respons ini merupakan dasar dari Teori Jarum Hipodermik, teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa yang sangat berpengaruh. Dalam teori ini isi media dipandang sebagai obat yang disuntikkan ke dalam pembuluh darah audience, yang kemudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang diharapkan. Dibalik konsepsi ini sesungguhnya terdapat dua pemikiran yang mendasarinya:
  1. Gambaran mengenai suatu masyarakat modern yang merupakan agregasi dari individu-individu yang relative terisolasi (atomized) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya, yang tidak terlalu terpengaruh oleh kendala dan ikatan sosial.
  2. Suatu pandangan yang dominan mengenai media massa yang seolah-olah sedang melakukan kampanye untuk memobilisasi perilaku sesuai dengan tujuan dari berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat (biro iklan, pemerintah, parpol dan sebagainya)
Dari pemikiran tersebut, dikenal apa yang disebut ‘masyarakat massa’, dimana prinsip stimulus-respons mengasumsikan bahwa pesan dipersiapkan dan didistribusikan secara sistematik dan dalam skala yang luas. Sehingga secara serempak pesan tersebut dapat tersedia bagi sejumlah besar individu dan bukannya ditujukan pada orang per orang. Penggunaan teknologi untuk reproduksi dan distribusi diharapkan dapat memaksimalkan jumlah penerimaan oleh respons audience. Dalam hal ini tidak diperhitungkan kemungkinan adanya intervensi dari sturuktur sosial atau kelompok dan seolah-olah terdapat kontak langsung antara media dan individu.

Konsekuensinya, seluruh individu yang menerima pesan dianggap sama/seimbang. Jadi hanya agregasi jumlah yang dikenal, seperti konsumen, supporter dan sebagainya. Selain itu diasumsikan pula bahwa terpaan pesan-pesan media, dalam tingkat tertentu, akan menghasilkan efek. Jadi kontak dengan media cenderung diartikan dengan adanya pengaruh tertentu dari media, sedangkan individu yang tidak terjangkau oleh terpaan media tidak akan terpengaruh.

Melvin DeFleur (1970) melakukan modifikasi terhadap Teori Stimulus-Respons dengan teorinya yang dikenal sebagai perbedaan individu dalam komunikasi massa (individual differences). Disini diasumsikan pesan-pesan media berisi stimulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda-beda dengan karakteristik pribadi dari para anggota audience. Teori DeFleur ini secara eksplisit telah mengakui adanya intervensi variable-variabel psikologis yang berinteraksi dengan terpaan media massa dalam menghasilkan efek.

Berangkat dari Teori Perbedaan Individu dan Stimulus-Respons ini, DeFleur mengembangkan Model Psikodinamik yang didasarkan pada keyakinan-keyakinan bahwa kunci dari persuasi yang efektif terletak pada modifikasi struktur psikologis internal dari individu. Melalui modifikasi inilah respons tertentu yang diharapkan muncul dalam perilaku individu akan tercapai. Esensi dari model ini adalah fokusnya pada variable-variabel yang berhubungan dengan individu sebagai penerima pesan, suatu kelanjutan dari asumsi sebab-akibat, dan mendasarkan pada perubahan sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku.

Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antar Pribadi
Teori ini berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld dan kawan-kawannya mengenai efek media massa dalam suatu kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1940. Studi tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa proses stimulus-respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil penelitian menunjukkan sebaliknya.

Efek media massa ternyata rendah dan asumsi stimulus-respons tidak cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan pembentukan pendapat umum. Dalam analisis terhadap hasil penelitian tersebut, Lazarsfeld kemudian mengajukan gagasan mengenai ‘komunikasi dua tahap’ (two step flow) dan konsep ‘pemuka pendapat’. Temuan mereka mengenai kegagalan media massa dibandingkan dengan pengaruh kontak antarpribadi telah membawa kepada gagasan bahwa ‘seringkali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para pemuka pendapat dan dari mereka kepada orang-orang lain yang kurang aktif di dalam masyarakat. Pemikiran ini kemudian dilanjutkan dengan penelitian yang lebih serius dan re-evaluasi terhadap teori stimulus-respons dalam konteks media massa. Perbandingan antara teori awal komunikasi massa dengan teori yang mereka kembangkan digambarkan dalam model berikut:

Model Komunikasi Dua Tahap (Two Step Flow of Communication)
Model ini lahir berlandaskan pada model Jarum Hipodermik. Lazarsfeld, Berelson, dan Guadet melakukan penelitian mengenai efek-efek komunikasi massa pada kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 1940.

Studi yang mereka lakukan mencoba untuk mengetahui bagaimana peranan media massa dalam mengadakan perubahan. Hasilnya sangat mengejutkan, mengingat bahwa pengaruh media massa ternyata hanya kecil sekali. Orang lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan antar pribadinya dalam menentukan keputusan politiknya daripada dipengaruhi oleh media massa.

Hasil penelitian tersebut menimbulkan anggapan bahwa ide-ide seringkali mengalir melalui radio dan media cetak dan diterima oleh pemuka pendapat (opinion leader). Melalui pemuka pendapat inilah ide tersebut tersebar ke seluruh anggota masyarakat.

Model komunikasi dua tahap ini dalam prosesnya berlangsung dua tahap.
Tahap I : Dari media massa kepada orang-orang tertentu di antara mass audience (opinion leader) yang bertindak selaku gate keepers. Dari sini pesan-pesan media massa disampaikan keapda anggota-anggota mass audience yang lain sebagai Tahap II, sehingga pesan-pesan media akhirnya mencapai seluruh penduduk
Model komunikasi Massa Dua Tahap dapat membantu untuk menempatkan perhatian pada peranan media massa yang dihubungkan dengan komunikasi antar pribadi. Perbedannya dengan Model Jarum Hipodermik yang memandang massa sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari individu-individu yang pasif terikat pada media, adalah bahwa model yang kedua ini memandang massa sebagai individu-individu yang aktif berinteraksi.

Bagan Two Step Flow Model adalah sebagai berikut :


Para opinion leaders dan followers secara keseluruhan adalah mass audience. Pada umumnya opinion leaders lebih banyak bersentuhan dengan media massa dibandingkan dengan followers. Karena posisinya, opinion leaders berpengaruh terhadap followers-nya, yang karena peranan opinion leaders pesan-pesan media massa mendapatkan efek yang kuat.

Bagan tersebut memperlihatkan bahwa Model Alir Dua Tahap merupakan komplementaritas antara komunikasi massa dan komunikasi antar pribadi. Tahap pertama dari media massa ke opinion leaders adalah komuniaksi massa, sedangkan Tahap kedua dari opinion leaders kepada followers adalah komunikasi antar pribadi.

Berdasarkan bagan tersebut terlihat bahwa volume informasi yang sampai kepada masyarakat telah disaring oleh pemuka pendapat. Hal ini berarti bahwa pemuka pendapat dapat menambah atau mengurangi volume informasi semula yang disebarkan oleh media massa, sehingga bobot dan variasi informasi akan berubah sesuai dengan pemikiran pemuka pendapat. Kemungkinan penambahan dan pengurangan bobot dan variasi volume informasi itu bias positif dan bisa pula bersifat negatif, tergantung pada watak dan kepentingan pemuka pendapat tersebut. Jadi pemuka pendapat berperan sebagai gate keeper atau penjaga gerbang informasi.

Model Alir Dua Tahap ini dikembangkan sebagai suatu studi klasik
tentang perilaku pemilih dalam kasus pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1940 oleh Paul Lazarsfeld dkk. Penemuan teori Lazarsfeld ini sekaligus menjatuhkan Model/Teori Peluru atau Jarum Suntik (Hypodermic Needle Model).


Kelebihan Model Komunikasi Dua Tahap
  1. Model ini banyak membantu kita dalam memusatkan perhatian atas adanya hubungan yang komplementer atau saling melengkapi antara komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi.
  2. Adanya peranan aktif dari pemuka pendapat (opinion leaders) dan cara-cara berkomunikasi tatap muka yang dipandang mempunyai peranan penting dalam setiap situasi komunikasi, khususnya bagi masyarakat di negara berkembang.
  3. Model ini secara umum memberikan kerangka kerja yang secara konseptual dapat dipakai guna meneliti gejala komunikasi yang bersifat kompleks.
  4. Model komunikasi dua tahap ini memperlihat dua hal yang menonjol, yaitu :
  • Peranan pemuka pendapat mendapat perhatian khusus sebagai sumber informasi
  • Beberapa penyempurnaan dari Model Komunikasi Dua Tahap sebagaimana dikenal dalam Model Komunikasi Satu Tahap dan Model Komunikasi Banyak Tahap.
Kekurangan Model Komunikasi Dua Tahap
  1. Model tersebut menyatakan bahwa individu yang aktif dalam mencari informasi hanyalah pemuka pendapat, sedangkan anggota masyarakat pada umumnya bersifat pasif. Kegiatan pemuka pendapat dianggap sebagai usaha untuk memperoleh kesempatan berperan sebagai pemrakarsa komunikasi. Kenyataan memperlihatkan bahwa ada model komunikasi yang menunjukkan bahwa pemuka pendapat ada yang pasif dalam mencari informasi.
  2. Pandangan bahwa dalam proses komunikasi massa pada hakikatnya terjadi dua tahap, ternyata membatasi proses analisisnya, sebab proses komunikasi dapat terjadi dalam dua tahap atau lebih. Dalam kasus tertentu, dapat saja terjadi proses komunikasi satu tahap, misalnya media massa langsung mempengaruhi khalayak. Dalam kasus lain, media massa menimbulkan proses komunikasi banyak tahap.
  3. Model komunikasi dua tahap menunjukkan betapa pemuka pendapat tergantung pada informasi yang disebarkan media massa. Tetapi sekarang ini ada indikasi yang membuktikan bahwa pemuka pendapat memperoleh informasi melalui saluran-saluran yang bukan media massa.
  4. Penelitian tahun 1940 tersebut, yang menghasilkan model komunikasi dua tahap, mengabaikan perilaku khalayak berdasarkan “waktu” pengenalan ide baru. Penelitian tentang difusi dan inovasi menunjukkan bahwa mereka yang mengenal lebih dahulu suatu ide baru ternyata lebih banyak memanfaatkan media massa dibandingkan dengan mereka yang mengenal ide baru tersebut kemudian. Dengan demikian, para pemuka pendapat pada umumnya adalah pengenal awal ide baru, sedangkan ketergantungan mereka pada media massa lebih banyak ditentukan oleh kedudukan mereka sebagai pengenal awal daripad sebagai pemimpin masyarakat.
  5. Berbagai saluran komunikasi berperan dalam berbagai tahap penerimaan inovasi dan proses pengambilan keputusan. Model komunikasi dua tahap tidak menunjukkan adanya perbedaan peranan dari berbagai saluran komunikasi dalam hubungannya dengan tahap-tahap inovasi. Studi tentang difusi inovasi menunjukkan beberapa tahap: (a) tahap penyadaran, (b) tahap pembujukan, (c) tahap keputusan, dan (d) tahap pemantapan.
  6. Pemisahan khalayak atas pemuka pendapat dan masyarakat pengikut diberikan oleh model komunikasi dua tahap. Padahal dalam kenyataan, tidak selamanya mereka yang disebut followers adalah menjadi pengikut dari pemuka pendapat. Kritik yang terutama diberikan pada model ini adalah, kenyataan menunjukkan bahwa proses komunikasi massa tidak berjalan sesederhana atau semata-mata dua tahap.

Teori dan penelitian-penelitian komunikasi dua tahap memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut:
  1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tetapi merupakan anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi dengan orang lain
  2. Respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak akan terjadi secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut
  3. Ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai penerimaan dan perhatian, dan yang kedua berkaitan dengan respons dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya mempengaruhi atau penyampaian informasi
  4. Individu tidak bersikap sama terhadap pesan atau kampanye media, melainkan memiliki berbagai peran yang berbeda dalam proses komunikasi dan khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara aktif menerima dan meneruskan atau menyebarkan gagasan dari media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya
  5. Individu-individu yang berperan aktif (pemuka pendapat) ditandai dengan penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh terhadap orang-orang lain, dan memiliki peran sebagai sumber informasi dan panutan.
Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak bekerja dalam suatu situasi kevakuman sosial, tetapi memiliki suatu akses ke dalam jaringan hubungan sosial yang sangat kompleks dan bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan dan kekuasaan yang lainnya.

Difusi Inovasi
Salah satu aplikasi komunikasi massa terpenting adalah berkaitan dengan proses adopsi inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju, karena terdapat kebutuhan yang terus-menerus dalam perubahan sosial dan teknologi, untuk mengganti cara-cara lama dengan teknik-teknik baru. Teori ini berkaitan dengan komunikasi massa karena dalam berbagai situasi di mana efektivitas potensi perubahan yang berawal dari penelitian ilmiah dan kebijakan publik, harus diterapkan oleh masyarakat yang pada dasarnya berada diluar jangkauan langsung pusat-pusat inovasi atau kebijakan publik. Dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi dilakukan di Amerika Serikat pada dasawarsa 20-an dan 30-an dan sekarang banyak digunakan untuk program-program pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang.

Teori ini pada prinsipnya adalah komunikasi dua tahap, jadi di dalammya dikenal pula adanya pemuka pendapat atau yang disebut dengan istilah agen perubahan. Oleh karenanya teori ini sangat menekankan pada sumber-sumber non-media (sumber personal, misalnya tetangga, teman, ahli dan sebagainya), dan biasanya mengenai gagasan-gagasan baru yang dikampayekan untuk mengubah perilaku melalui penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivasi dan sikap.

Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker (1973) merumuskan kembali teori ini dengan memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 4 tahap dalam suatu proses difusi inovasi, yaitu:
  • Pengetahuan: Kesadaran individu akan adanya inovasi dan adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.
  • Persuasi: individu membentu atau memiliki sikap yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut.
  • Keputusan: individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi
  • Konfirmasi: individu untuk mencari pendapat yang menguatkan keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan yang lainnya.
Teori ini mencakup sejumlah gagasan mengenai proses difusi inovasi sebagai berikut:
Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses ke dalam tahapan anteseden, proses, konsekuensi. Tahapan yang pertama mengacu kepada situasi atau karakteristik dari orang yang terlibat yang memungkinkannya untuk diterpa informasi tentang suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya.

Kedua, perlu dipisahkan fungsi-fungsi yang berbeda dari ‘pengetahuan’, ‘persuasi’, ‘keputusan’ dan ‘konfirmasi’, yang biasanya terjadi dalam tahapan proses, meskipun tahapan tersebut tidak harus selesai sepenuhnya atau lengkap. Dalam hal ini proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan.

Ketiga, difusi inovasi biasanya melibatkan berbagai sumber komunikasi yang berbeda (media massa, advertensi atau promosi, penyuluhan atau kontak-kontak sosial yang informal) dan efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda-beda pada tiap tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi, media massa dan advertensi dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan pengetahuan, penyuluhan berguna untuk persuasi, pengaruh antarpribadi berfungsi bagi keputusan untuk menerima atau menolak inovasi dan pengalaman dalam menggunakan inovasi dapat menjadi sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi atau sebaliknya.

Keempat, teori ini melihat adanya variable-variabel penerima yang berfungsi pada tahap pertama (pengetahuan) karena diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian atau karakteristik social. Meskipun demikian, setidaknya sejumlah variable penerima akan mempengaruhi pula tahap-tahap berikutnya dalam proses difusi inovasi. Ini terjadi juga dengan variable-variabel system social yang berperan terutama pada tahap awal dan tahap berikutnya.

23/02/12

Teori Komunikasi Interpretif dan Kritis

Teori Komunikasi membahas tentang berbagai pendekatan dalam keilmuan, pengertian dan model komunikasi, lingkup teori komunikasi, perspektif dalam ilmu komunikasi, teori dan model KAP, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa serta teori komunikasi interpretatif dan kritis.

Teori-Teori Feminis dan “Muted Group”
Pada dasarnya pendekatan kritis penerapan nilai – nilai untuk membuat penilaian terhadap pencapaian perubahan yang positif. Pendekatan kritis telah diterapkan pada berbagai fenomena komunikasi. Kritik retorika misalnya, dengan cermat mempelajari dan menilai efektifitas percakapan dan bentuk – bentuk komunikasi lainnya.

Kritik, estetika, mempelajari kualitas artistik pada pesan atau medium ekspresi lainnya. Meskipun penting, kedua topik tersebut tidak akan dibahas dalam bagian ini. Subjek bahasan kita adalah dengan ilmu sosial kritis, yang merupakan pengamatan kristis terhadap struktur-struktur sosial.

Teori Feminis
Teori feminis adalah sebutan yang diberikan pada perspektif atau kelompok teori yang menggali makna dari konsep-konsep gender. Teoritis feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan yang sebenarnya terlepas dari aspek biologis (jenis kelamin) dipahami dalam kualitas gender, termasuk bahasa, karya, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Kritik feminis ditunjukan untuk mengungkap kekuatan dan keterbatasan dalam hubungan gender.

Teori feminis dimulai dari dengan asumsi bahwa gender adalah kategori yang luas untuk memahami pengalaman manusia. Gender adalah suatu konstruksi sosial yang, meskipun perlu, telah didominasi oleh laki-laki dan menindas perempuan. Teori feminis ditujukan untuk menantang asumsi-asumi gender yang berlaku luas dalam masyarakat dan untuk mencapai cara-cara yang membebaskan perempuan dan laki-laki dan menindas perempuan.

Teori feminis ditunjukkan untuk menantang asumsi -asumsi gender yang berlaku dalam masyarakat dan untuk mencapai cara-cara yang membebaskan perempuan dan laki-laki untuk eksis di dunia. Dengan demikian, teori feminis diartikan sebagai radikal: menyentuh akar dari pengalaman manusia dan menyuaraka perubahan dalam budaya sosial dan struktur linguistic yang menentukan hubungan antara perempuan dan laki-laki.

Kritik feminis menjadi semakin populer dalam studi komunikasi. Kritik ini mempelajari :
  1. Gejala dinama bahasa yang bisa laki-laki (mendominankan kedudukan laki-laki) akan mempengaruhi hubungan antara laki-laki dan perempuan.
  2. Gejala dimana dominasi laki-laki telah membatas komunikasi bagi perempuan.
  3. Gejala dimana perempuan memiliki pola-pola percakapan dan bahasa laki-laki yang akomodatif dan menentang, kekuatan bentuk -bentuk komunikasi yang feminism, dan gejala sejenis lainnya. Bagian berikut ini akan menyajikan ringkasan dari suatu teori feminis tentang komunikasi yang mengandung banyak tema yang dikenal dalam literature mengenai perempuan dan komunikasi.

Teori Kelompok yang Bungkam (Muted Group Theory)
Teori kelompok bungkam ini dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shrirly Ardener. Edwin Ardener mengamati bahwa antropolog cenderung untuk menandai suatu budaya dengan pengertian yang maskulin: “Kenyataannya adalah bahwa tidak seorang pun dapat kembali dari suatu studi etnografi tentang “Y”, karena telah berbicara hanya pada perempuan, dan mengenai laki-laki, tanpa komentar yang professional dan sedikit keraguan, seperti yang sebaliknya terjadi secara terus menerus”. Dengan kata lain, etnografi cenderung bias terhadap pengamatannya pada laki-laki dalam suatu budaya.

Meskipun demikian, melalui pengamatannya yang lebih dalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat didalamnya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibungkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya alam dunia yang didominasi laki-laki.

Shirley Ardener menambahkan pada teori tersebut dengan menunjukkan bahwa diamnya perempuan memiliki beberapa alasan dan ini terbukti dalam situasi percakapan ekspresif dalam situasi publik di banding dalam situasi pribadi. Konsekuensinya, perempuan memantau perilaku komunikasinya secara lebih intensif disbanding laki-laki.

Perempuan memperhatikan apa yang dikatakannya dan menerjemahkan apa yang dirasakan dan pikirkan kedalam terminology laki-laki. Ketika makna dan ekspresi maskulin dan feminism konflik, laki – laki cenderung memenangkannya karena dominasi laki – laki dalam masyarakat. Jadi perempuan adalah, tetap, sebagai pihak yang terbungkam. Teoretisi komunikasi Cheris Kramarae memperluas dan melengkapi teori bungkam ini dengan pemikiran dan penelitian mengenai perempuan dan komunikasi.

Dia mengemukakan asumsi – asumsi dari teori ini sebagai dasar dari teori ini sebagai berikut :
1. Perempuan menanggapi dunia secara berbeda dari laki – laki karena pengalaman dan aktivitasnya berbeda yang berakar pada pembagian kerja.
2. Karena dominasi politiknya, system presepri laki – laki menjadi lebih dominan, menghambat ekspresi bebas bagi pemikiran alternative perempuan.
3. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah perspektif mereka ke dalam system ekspresi yang dapat diterima laki – laki.
Kramarae mengemukakan sejumlah hipotesis mengenai komunikasi perempuan berdasarkan beberapa temuan penelitian.

Pertama, perempuan lebih banyak mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri disbanding laki-laki. Ekspresi laki-laki yang tidak berbagi pengalaman tersebut, tidak mengembangkan istilah-istilah yang memadai.

Kedua, perempuan lebih mudah memahami makna laki-laki dari pada laki-laki memahami makna perempuan. Bukti dari asumsi ini dapat dilihat pada berbagai hal: Laki-laki cenderung menjaga jarak dari ekspresi perempuan karena mereka tidak memahami ekspresi tersebut; perempuan lebih sering menjadi objek dari pengalaman dari pada laki-laki; laki-laki dapat menekan perempuan dan merasionalkan tindakan tersebut dengan dasar bahwa perempuan tidak cukup rasional atau jelas; jadi perempuan harus mempelajari system komunikasi laki-laki, sebaliknya laki-laki mengisolasi dirinya dari sistem perempuan.

Ketiga, Perempuan telah menciptakan cara-cara ekspresinya sendiri di luar sistem laki-laki yang dominan. Surat, diary, kelompok-kelompok penyadaran, dan bentuk-bentuk seni alternative adalah beberapa contohnya.

Perempuan lebih mengandalkan ekspresi nonverbal dan menggunakan bentuk-bentuk non-verbal yang berbeda dengan yang digunakan laki-laki, karena mereka secara verbal dibubgkam. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa, misalnya, ekspresi wajah, vocal pauses dan gerak tubuh lebih penting dalam komunikasi perempuan disbanding komunikasi laki-laki. Perempuan juga cenderung menunjukkan lebih banyak perubahan ekspresi dalam percakapan.
Keempat, perempuan cenderung untuk mengekspresikan lebih banyak ketidakpastian tentang komunikasi dibandingkan laki-laki. Perempuan mungkin akan berbicara lebih banyak mengenai personal merkea dalam menggunakan bahasa atau kesukarannya untuk menggunakan perangkat komunikasi laki – laki. Puisi perempuan misalnya, acapkali mengekspresikan hal ini, dan penulis serta pembicara sesekali menyatakan perasaannya akan hambatan yang diciptakan oleh kebiasan – kebiasaan umum dalam bidang – bidang tersebut.

Kelima, perempuan seringkali berusaha untuk mengubah aturan – aturan komunikasi yang dominan dalam rangka menghindari atau menentang aturan – aturan konvensional. Himbauan bagi kebebasan perempuan misalnya, telah melahirkan kata – kata baru seperti “Ms.” Dan “hestory” dan telah mengembangkan bentuk - bentuk komunikasi berbeda yang melibatkan pengalaman – pengalaman perempuan. Kelompok – kelompok penyadaran adalah salah satu contohnya.

Keenam, secara tradisional perempuan kurang menghasilkan kata – kata baru yang populer dalam masyarakat luas ; konsekuensinya, mereka merasa tidak dianggap memiliki kontribuasi terhadap bahasa.
Terakhir, perempuan memiliki konsepsi humoris yang berbeda daripada laki – laki. Karena permupuan memiliki metode konseptaualisasi dan ekspresi yang berbeda, sesuatu tampak lucu bagi laki – laki menjadi sama sekali tidak lucu bagi perempuan.

Teori kelompok bungkam adalah suatu contoh menarik dari teori komunikasi kritis. Teori ini memusatkan perhatiannya pada kelompok tertentu dalam penindasan, dan memberikan arah bagi perubahan yang positif.

Ketika teori feminis berkutat dengan pembagian konsepsi gender atas maskulin dan feminim, sejumlah orang mempertanyakan manfaat dari dualismeini. Meskipun pembedaan maskulin – feminism dapat berguna, namun terasa sangat menyederhanakan dan menciptakan konseptualisasi yang tidak secara tepat mencerminkan realitas. Pemberian label semacam itu pada kenyataanya justru mempertajam pembedaan (antara laki – laki dan perempuan) yang sebenarnya dicoba diatasi oleh kaum feminis. Linda Putnam menjelaskannya sebagai berikut :

“Persoalan reifikasi, pengguna label feminis telah menimbulkan efek pengakuan eksistensi perempuan tetapi sekaligus juga mengisolasi mereka”. Dan lagi, “usaha untuk menghapus perilaku pembedaan (degenderize) memiliki potensi untuk membebaskan kita dari klasifikasi peran berdasarkan jenis kelamin yang muncul dari dualism.” Jawabannya, menurut Putman, adalah bukan dengan mengabaikan teori komunikasi secara berbeda. Dari pada sekedar menganggap bahwa gender adalah penyebab bagi efek – efek lainnya, kita harus mempelajari pula cara – cara dimana pola – pola komunikasi telah membawa pada perbedaan gender itu sendiri.


Teori Konstruksi Sosial Media Massa
Peter L. Berger dan Luckmann menjelaskan konstruksi sosial atas realitas melalui ”The Social Constructiono Reality, a Treatisein the Sociological of Knowledge” (1966). Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.

Tiga proses ini terjadi di antara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat. Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter.L.Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.

Pada kenyataan konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, dan sebagainya. Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter.L.Berger dan Luckmann ini memiliki kemandulan atau dengan kata lain tak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat telah habis dan berubah menjadi masyarakat modern dan post-modern, dengan demikian hubungan-hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semi-sekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter. L. berger dan Luckmann menjadi tak bermakna lagi.

Melalui Konstruksi Sosial Media Massa; Realitas Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik (2000), teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter. L. Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subjektivitasi, dan internalisasi.

Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi "teori konstruksi sosial media massa" adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang tekonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opioni massa cenderung sinis.

Posisi ”konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi substansi kelemahan dan melengkapi "konstruksi sosial atas realitas”, dengan menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media pada keunggulan ”konstruksi sosial media massa” atas ”konstruksi sosial atas realitas”. Namun proses simultan yang digambarkan diatas tidak bekerja secara tiba-tiba, namun terbentuknya proses tersebut melalui beberapa tahap penting. Dari konten konstruksi sosial media massa, proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui tahap-tahap sebagai berikut:
  1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
  2. Tahap sebaran konstruksi
  3. Tahap pembentukan konstruksi, dan
  4. Tahap konfirmasi.
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal budi dan Id. Gagasan tersebut semakin lebih konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dans sebagainya.
Ia mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta. Aristoteles pula lah yang memperkenalkan ucapannya "cogito ergo sum", "saya berpikir karena itu saya ada".

Asumsi dasar Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann adalah sebagai berikut :
  1. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
  2. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan
  3. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus
  4. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepeda kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara objektif, namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi.

Proses konstruksinya berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yaitu :
  • Objective reality
  • Symbolic reality
  • Subjective reality
Objective reality: Merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
Symbolicum reality: Merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai ’objectivity reality”, misalnya teks produk industri media seperti berita di media cetak atau elektronika, dan film.
Subjectivity reality: Merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subyektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru

Konstruksi sosial mengandung dimensi objektif dan subjektif. Ada dua hal yang menonjol dalam melihat reaalitas peran media dalam dimensi objektif, yaitu pelembagaan dan legitimasi.
  1. Pelembagaan, dalam perspektif Berger, pelembagaan terjadi ketika semua kegiatan manusia mengalami pembiasaan. Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu.
  2. Legitimasi, menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat objektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara objektif dan masuk akal secara subjektif
Kalau pelembagaan dan legitimasi merupakan dimensi objektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subjektifnya. Analisis Berger mengatakan bahwa individu dilahirkan dengan suatu predisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa objektif sebagi pengungkapan makna. Kesadaran individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.

21/02/12

Identifikasi Peluang dan Memilih Jenis Usaha

1. Kisah Sukses
Warung Aji Mumpung dan Fenomena Tukul
  • Kesuksesan Tukul sebagai host di salah satu stasiun televisi, ada saja yang memanfaatkannya sebagai suatu peluang.
  • Alex Sukamto, bekas majikan Tukul menyatakan ingin membuka usaha bersama Tukul.
  • Akhirnya Tukul dan Alex dapat meresmikan usaha rumah makan yang mereka idamkan. Nama restoran itu diberi nama sama persis dengan Tukul, Rumah Makan Tukul Arwana.
  • Kesuksesan Tukul tidak didapat begitu saja, melainkan melalui berbagi rintangan dan pengalaman-pengalaman pahit, yang sebenarnya semua itu adalah proses menuju keberhasilan.
Beno Pranata "Pesan Delivery"
  • Beno Pranata memiliki ide brilian yaitu menangkap peluang bisnis jasa kurir boga dengan nama “Pesan Delivery”.
  • Beno dan kawan-kawannya membuat catalog daftar menu dan restoran yang ada di Jakarta. Harapannya, kalau catalog itu mendapat respon yang bagus dari konsumen, maka resto yang tercantum di dalamnya mau diajak bermitra.
  • Pikiran mereka tidak meleset, katalog "Pesan Delivery" yang diedarkan, cukup banyak direspon orang, akibatnya tidak sedikit resto yang menawarkan diri menjadi mitra. Dan sejak itulah mitranya menjadi banyak.
  • Kalau pada awal tahun 2003 jumlah mitra yang dimilikinya hanya 22 saja, terakhir sudah sekitar 140 resto, pelanggan pun akhirnya bertambah banyak.
Matsushita pendiri Miatsuhita Electric Ltd.
  • Matsushita menceritakan, bahwa pada saat Jepang dilanda krisis ekonomi, Matsushita tetap optimis dan berpikir positif.
  • Dia tetap saja melakukan kegiatan yang dilakukannya seperti sebelum krisis ekonomi terjadi.
  • Dia bersikap biasa-biasa saja, juga tidak mudah terpengaruh oleh isu. Sebab hal-hal semacam itu akan dapat memperparah keadaan, karena proses bisnisnya menjadi tidak lancar lagi.
  • Sebagai entrepreneur ketika menghadapi krisis, janganlah panik dan harus tetap optimis terhadap kegiatan bisnisnya.
  • Sikap seperti itu bisa saja kita tiru, dan masih relevan dengan kondisi saat ini.

2. Mengindentifikasi Peluang Usaha
Salah satu alat untuk mengukur semua hal yang mungkin dan tidak mungkin dilakukan oleh usahawan adalah menggunakan analisis SWOT. Berikut adalah cara yang sederhana yang dapat dilakukan:
  • Melihat keunggulan yang kita miliki seperti lokasi, sumber-sumber bahan baku yang mudah didapat, mudah dijangkau konsumen atau pelanggan, dan kekuatan lainnya yang dapat kita manfaatkan.
  • Melihat kelemahan yang kita miliki, agar kita tidak memaksakan diri melakukan usaha yang sebenarnya tidak dapat kita lakukan.
  • Melihat peluang yang dapat dimanfaatkan.
  • Melihat ancaman, jangan sekali-kali membuat suatu usaha yang memiliki ancaman yang tinggi dan memiliki daur hidup yang pendek.
Motto :
1. Berani… Berani... dan lebih berani…!
2. Lebih baik… lebih baik… dan terbaik…!
3. Lakukan… lakukan... dan lakukan…!

Beberapa langkah untuk mengidentifikasi dan memilih peluang bisnis yang tepat antara lain:
  1. Tentukan tujuan besar yang hendak dicapai
  2. Buatlah daftar ide usaha
  3. Penilaian terhadap kemampuan pribadi
  4. Memilih kriteria
  5. Membandingkan dan dapatkan saran dari pengusaha, konsultan, atau mentor
  6. Penilaian keadaan bisnis sekarang dan akan datang melalui riset
  7. Menetapkan pilihan

3. Ide Kewirausahaan
Zemmerer (1996 : 82): Kreativitas sering kali muncul dalam bentuk ide-ide untuk menghasilkan barang dan jasa baru. Ide itu sendiri bukan peluang dan tidak akan muncul bila wirausahawan tidak mengadakan evaluasi dan pengamatan secara terus-mnerus. Banyak ide yang betul-betul asli, akan tetapi sebagian besar peluang tercipta ketika wirausahawan memiliki cara pandang baru terhadap ide-ide lama. Pertanyaannya, bagaimana ide bisa menjadi peluang ?
Ada beberapa cara, antara lain :
  • Ide dapat digerakan secara internal melalui perubahan cara-cara/metode yang lebih baik untuk melayani dan memuaskan pelanggan dalam memenuhi kebutuhan.
  • Ide dapat dihasilkan dalam bentuk produk dan jasa baru.
  • Ide dapat dihasilkan dalam bentuk modifikasi bagaimana pekerjaan dilakukan atau memodifikasi cara melakukan suatu pekerjaan.
Hasil ide-ide tersebut secara keseluruhan adalah perubahan dalam bentuk arahan atau petunjuk bagi perusahaan untuk kreasi baru tentang barang yang dihasilkan perusahaan. Banyak wirausahawan yang berhasil bukan atas ide sendiri tetapi hasil pengamatan dan penererapan ide-ide orang lain yang bisa dijadikan peluang.

Keberhasilan wirausaha dicapai apabila wirausahawan menggunakan produk, proses, dan jasa-jasa inovasi sebagai alat untuk menggali perubahan. Wirausahawan dapat menciptakan nilai dengan cara mengubah semua tantangan menjadi peluang melalui ide-idenya dan ahirnya ia menjadi pengendali usaha. Semua tantangan bisa menjadi peluang apabila ada inovasi, misalnya menciptakan permintaan melalui penemuan baru. Dengan penemuan baru para wirausahawan, dapat mengen-dalikan pasar, dan ahirnya membuat ketergantungan konsumen pada produksen. Dengan demikian, produsen tidak lagi tergantung kepada konsumen seperti falsafah pemasaran yang konvensional.

Ide-ide yang berasal dari wirausahawan dapat menciptakan peluang untuk memenuhi kebutuhan riil dipasar. Ide-ide itu menciptakan nilai potensial di pasar sekaligus menjadi peluang usaha. Dalam mengevaluasi ide untuk menciptakan nilai-nilai potensial (peluang usaha), wirausahawan perlu mengidentifikasikan dan mengevaluasi semua resiko yang mungkin terjadi dengan cara :
  • Pengurangan kemungkinan resiko melalui strategi proaktif
  • Penyebaran resiko pada aspek yang paling mungkin.
  • Pengelolaan resiko yang mendatangkan nilai atau manfaat.

Ada tiga risiko yang dapat dievaluasi, yaitu :
  • Risiko pasar atau resiko persaingan
  • Risiko financial
  • Risiko Teknik

4. Orientasi Eksternal dan Internal dalam Mencari Peluang Usaha
Banyak peluang di dalam mengidentifikasikan hal baru yang lebih baik untuk dikerjakan dan cara baru yang lebih baik dalam mengerjakan sesuatu. Wirausahawan adalah orang yang mencari dan melihat meluang yang tersembunyi dengan gagasan baru, kemudian bekerja keras mengubah peluang menjadi kenyataan.
Para wirausahawan mempunyai rasa ingin tahu yang besar dan senantiasa menyimpan informasi yang menarik minat dalam ingatan mereka. Terdapat dua jenis kesadaran yang memaksa penelusuran peluang usaha baru, yaitu : kesadaran yang tercermin dalam orientasi ekternal dan yang tercermin dalam orientasi internal.

Keingintahuan dan minat pada apa yang terjadi di dunia merangsang orientrasi ekternal. Para Wirausahawan menelusuri banyak sumber gagasan. Sumber gagasan baru tersebut adalah :
  1. Konsumen. Wirausahawan harus selalu memperhatikan apa yang menjadi keinginan konsumen atau memberikan kesempatan kepada konsumen untuk mengungkapkan keinginan mereka.
  2. Perusahaan yang sudah ada. Wirausahawan harus selalu memperhatikan dan mengevaluasi produk atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang sudah ada dan kemudian mencari cara untuk memperbaiki penawaran yang sudah ada sehingga bisa membentuk usaha baru.
  3. Saluran distribusi. Saluran distribusi juga merupakan sumber gagasan baru yang sangat baik karena kedekatan mereka dengan kebutuhan pasar.
  4. Pemerintah. Pemerintah juga merupakan sumber pengembangan gagasan baru dengan dua cara. Pertama, melalui dokumen hak-hak paten yang memeungkinkan pengembangan sejumlah produk baru. Kedua, melalui peraturan pemerintah kepada dunia usaha yang bisa memungkinkan munculnya gagasan baru, misalnya peraturan keselamatan kerja memungkinkan munculnya usaha yang dipusatkan pada produk-produk keselamatan kerja.
  5. Penelitian dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan sering menghasilkan gagasan produk baru atau perbaikan produk yang sudah ada.

Orientasi internal merangsang penggunaan sumber daya-sumber daya pribadi untuk mendefinisikan peluang usaha baru. Setiap orang menyimpan pengetahuan sepanjang tahun. Pengetahuan ini tersusun dari berbagai jenis data; gagasan, konsep, prinsip-prinsip, citra, dan fakta-fakta. Terdapat tiga tahap penggunaan sumberdaya-sumberdaya internal, yaitu :
  1. Analisa konsep sehingga bisa terdefinisi dengan jelas, termasuk penguraian masalah yang perlu dipecahkan.
  2. Penggunaan daya ingat untuk menemukan kesamaan dan unsur-unsur yang nampaknya berhubungan dengan konsep dan masalah-masalah.
  3. Mengkombinasi unsur-unsur tersebut dengan cara baru dan bermanfaat untuk memecahakan masalah-masalah dan membuat konsep dasar bisa dipraktekan.

5. Sumber Gagasan bagi Produk dan Jasa Baru
Walaupun terdapat banyak pendekatan untuk mencari sumber gagasan bagi produk dan jasa baru, proses ini bisa dipercepat dengan :

Kebutuhan akan sumber penemuan
Penemuan atau inovasi berasal dari persepsi kebutuhan yang jelas ingin dipenuhi. Terdapat banyak contoh barang atau jasa yang telah dikembangkan dari persepsi demikian itu. Barang dan jasa tersebut berkisar dari mulai yang sederhana hingga yang rumit, dari yang mahal hingga yang murah. Inovasi metode irigasi misalnya, telah dikembangkan di daerah-daerah di mana air langka, mahal dan agak beragam. Metode irigasi ini menggunakan peralatan yang akan meneteskan air kepermukaan tanah dekat tanaman di mana hal ini akan menghemat air. Wirausahawan bisa memulai usaha baru dengan memproduksi peralatan penetes air untuk irigasi tersebut.

Hobby atau Kesenangan Pribadi
Hobby atau minat pribadi adakalanya bisa mendorong bisnis baru. Misalnya kesenagan membuat roti akan bisa memunculkan usaha baru. Dengan mengembangkan roti yang mempunyai rasa yang khas yang disukai oleh orang lain, seseorang bisa mendirikan usaha pembuatan roti tersebut.

Mengamati Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dan kebiasaan dalam mode merupakan sumber gagasan untuk melakukan usaha baru. Banyak peluang yang terlihat oleh para pengamat mendorong untuk mengerjakan sesuatu yang baru pada saat yang tepat. Berdirinya usaha-usaha butik, perancangan mode pakaian (misalnya, di Cihampelas) merupakan salah satu contoh dari pemanfaatan peluang usaha baru melalui pengamatan kecenderungan dalam bidang mode.
Mengamati kekurangan-kekurangan produk dan jasa yang ada, adalah lahan subur bagi gagasan barang dan jasa baru. Pendekatan ini ditunjukan untuk memperbaiki kinerja atau menambah keunggulan yang diperlukan. Pengembangan kunci anti maling di mobil merupakan peluang usaha baru dengan memanfaatkan kelemahan dari kekurangan yang ada pada kunci biasa yang mudah dirusak oleh para pencuri.

Mengapa tidak terdapat…?
Peluang bagi usaha baru adakalanya datang di dalam menjawab pertanyaan, “Mengapa tidak terdapat …? Sebagai contoh tidak adanya cairan penghapus tinta merupakan peluang mendirikan usaha baru yang disebabkan tidak adanya alat untuk menghapus tinta.

Kegunaan Lain dari Barang-barang Biasa
Banyak produk komersial berasal dari penerapan barang-barang biasa untuk kegunaan lain yang bukan kegunaan yang dimaksudkan dari barang itu. Barang tersebut berkisar dari perubahan karakter dan kegunaan dari barang ahir hingga pengembangan penerapan baru barang yang tidak terpakai. Pengembangan sampai "2 in 1" merupakan penambahan kondisioner pada sampo yang sudah ada, sehingga kita tidak perlu lagi membeli konsisioner untuk merapikan rambut.

Pemanfaatan Produk dari Perusahaan Lain
Banyak perusahaan baru yang terbentuk sebagai perusahaan yang memanfaatkan produk dari perusahaan yang sudah ada. Misalnya seorang pegawai pengetik dari suatu perusahaan berusaha mendapatkan tambahan penghasilan dengan mengetik skripsi, laporan, dan lain-lain di rumahnya di malam hari dan di hari Minggu. Beberapa pemberi order merasa puas dengan hasil kerjanya sehingga mereka menjadi konsumen tetap


6. Cara Memulai Bisnis
Cara-cara yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk memulai usaha, baik itu dilakukannya sendiri maupun bersama teman-teman, adalah sebagai berikut:
1. Mendirikan usaha baru, terdiri dari:
  • Perusahaan milik sendiri (sole proprietorship), yaitu bentuk usaha yang dimiliki dan dikelola sendiri.
  • Persekutuan (partnership), yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih.
  • Perusahaan berbadan hukum (corporation), yaitu perusahaan yang didirikan atas dasar badan usaha dengan modal berupa saham.
2. Membeli usaha yang sudah ada
3. Mengembangkan usaha yang sudah ada
4. Memilih usaha franchise


7. Bidang Usaha dan Jenis-Jenis Badan Usaha
Beberapa contoh bidang usaha yang menjadi pilihan para pemula atau wirausahawan baru adalah:
  • Usaha di bidang makanan atau kuliner
  • Usaha pakaian dan perhiasan
  • Usaha yang terkait dengan tempat tinggal
  • Usaha pendidikan.
  • Usaha yang terkait dengan rekreasi
  • Usaha pendukung atau mempermudah orang lain menjalankan usaha.
Jenis Usaha yang dapat dimasuki oleh para usahawan:
  • Pertanian.
  • Pertambangan.
  • Pabrikasi.
  • Konstruksi.
  • Perdagangan.
  • Jasa keuangan.
  • Jasa perorangan.
  • Jasa pendidikan.
  • Jasa transportasi.
  • Jasa pariwisata.
Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan sebelum mendirikan organisasi bisnis adalah:
  • Kebutuhan modal
  • Risiko
  • Pengawasan
  • Kemampuan manajerial
  • Kebutuhan waktu
  • Pajak
  • Berikut beberapa bentuk badan hukum usaha di Indonesia
  • Perusahaan Perseorangan
  • Persekutuan: (1) Persekutuan umum (General Partnership); (2) Persekutuan Terbatas (Limited Partnership: Persekutuan (Firma), Persekutuan (Commanditaire Vennotschaap), dan Persekutuan (kerjasama) lainnya: Joint Venture, Syndicate, Kartel, dan Holding Company.
  • Perseroan (Korporasi)
  • Koperasi

Daftar bacaan:

1. Kewirausahaan, Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda, Suharyadi, Arissetyanto Nugroho, Purwanto S.K., Maman Faturohman, Salemba Empat, 2007. Kewirausahaan Indonesia Dengan Semangat 17-8-45, Puslatkop dan PK, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Jakarta, 1995.
2. Kewirausahaan (Pedoman praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses), Dr. Suryana, Salemba Empat, 2003.
3. Kewirausahaan Teori dan Praktek, Seri Manajemen 77 PPM, Geoffrey. Meredith
4. Pengantar Kewirausahaan, Kerangka Dasar Memasuki Dunia Bisnis, Edisi Pertma, Drs. Masykur Wiratmo, Msc, BPFE, Jogyakarta
5. Dasar-dasar Kewirausahaan, Drs. Astim Riyanto, SH, MH, Yapemdo, Bandung
6. Pedoman Perencanaan Usaha, Edisi keenam, Devid H. Bangs, Jr, Erlangga,
7. Entepreneurship Creativity & Organisasi, Te+t, Case, & Reading, John Kao, Prentice Hall, Englewood, New Jersey

Sumber-sumber Prasangka dan Diskriminasi

Proses belajar sosial (social learning)
Konflik langsung antar kelompok. Berdasarkan Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) di mana prasangka muncul karena kompetisi antar kelompok social untuk memperoleh kesempatan atau komoditas yang berharga yang berkembang menjadi rasa kebencian, prasangka dan dasar emosi.

Contoh: konflik antara para pendatang (migrant) dengan masyarakat setempat, masyarakat setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil di wilayah barunya sehingga menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para migrant. Hal ini dapat dilihat pada konflik yang terjadi di Ambon, atau Kalimantan.

Pengalaman awal. Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan observasi/vicarious. Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar orangtuanya melontarkan komentar-komentar negatif terhadap orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga akan ikut meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam pembentukkan prasangka.

Kategorisasi Sosial, yakni kecenderungan untuk membuat kategori social yang membedakan antara in-group—“kita”—dengan out-group—“mereka”. Kecenderungan untuk memberi atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompooknya sendiri daripada anggota kelompok lain terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama (ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias hanya saja terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori social ini menjadi prasangka, dapat dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok social tertentu. Namun, hal ini terjadi hanya bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior daripada kelompok lain yang menjadi pesaingnya.

Stereotip—kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok social tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Ketika sebuah stereotip diaktifkan, trait-trait ini lah yang dipikirkan. Stereotip mempengaruhi pemrosesan informasi social (diproses lebih cepat dan lebih mudah diingat), sehingga mengakibatkan teerjadinya seleksi pada informasi—informasi yang konsisten terhadap stereotip akan diproses sementara yang tidak sesuai stereotip akan ditolak atau diubah agar konsisten dengan stereorip. Reaksi lain terhadap informasi yang tidak konsisten adalah membuat kesimpulan implicit yang mengubah arti informasi tersebut agar sesuai dengan stereotip. Stereotip seperti penjara kesimpulan (inferential prisons): ketika stereotip telah terbentuk, stereotip akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotip kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi.

Mekanisme kognitif lain: a) Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu kecenderungan melebih-lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil. Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat; b) ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity) yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan tersebut adalah perbedaan in-group (in-group differentiation) yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan anggota kelompoknya dalam menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen) daripada kelompok-kelompok lain.

Faktor Kegagalan Pengubahan Sikap

Setiap hari kita menerima pesan-pesan persuasi baik melalui media, maupun secara langsung (komunikasi interpersonal). Pada umumnya kita sangat resisten pada pesan-pesan persuasi tersebut. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pengubahan sikap.
  • Reaktansi (reactance) adalah sebuah reaksi negatif terhadap usaha orang lain untuk mengurangi kebebasan anda dengan membuat kita melakukan apa yang mereka inginkan. Hal ini terjadi karena persuasi dilakukan dengan paksaan sehingga individu merasa persuasi sebagai ancaman langsung terhadap kebebasan pribadinya (atau gambaran mereka sebagai orang yang mandiri), mereka termotivasi kuat untuk menolak. Misalnya saja peminta-minta di bis kota yang melakukannya dengan cara tekanan atau pemberian ancaman, alih-alih membuat para penumpang menderma malah menimbulkan antipati. Persuasi dengan cara ini kebanyakan tidak berhasil.
  • Peringatan (forewarning) adalah pemahaman dini bahwa individu akan menjadi taget suatu usaha persuasi. Peringatan sering kali meningkatkan pertahanan terhadap persuasi yang terjadi. Peringatan memberikan kita kesempatan untuk menciptakan sanggahan (counterargument) yang dapat mengurangi kekuatan pesan persuasi. Selain itu, peringatan juga memberikan waktu untuk mengingatkan fakta-fakta yang relevan dan informasi yang terbukti berguna agar dapat menolak sebuah pesan persuasif. Misalnya seorang kenalan tiba-tiba menelpon kita dengan alasan yang tidak jelas. Tiba-tiba ia menyatakan ingin bertemu. Anda pernah mendengar dari beberapa teman bahwa ia sedang mencari downline untuk bisnis multi-level marketingnya. Ketika bertemu, Anda sudah memperkirakan arah pembicaraan tersebut dan ternyata benar itu yang terjadi. Kemungkinan besar, persuasi yang akan dilakukan oleh kenalan Anda tersebut akan mengalami kegagalan.
  • Pengindraan selektif (selective avoidance) adalah sebuah kecenderungan untuk mengalihkan perhatian kita dari informasi yang kita hadapi saat itu. Usaha menghindari tersebut meningkatkan resistansi terhadap persuasi. Selective avoidance adalah salah satu cara dimana skema diarahkan untuk memproses informasi sosial, dan sikap sering kali beroperasi berdasarkan skema. Contohnya: Ketika orang sedang menonoton televisi, mereka tidak hanya duduk di depan televisi secara pasif menerima apa saja yang disampaikan oleh media. Mereka mengganti saluran, mematikan suara pada saat iklan, atau sekedar mengalihkan perhatian ketika dihadapkan pada tayangan informasi yang berbeda dari yang diinginkan. Ketika kita berhadapan dengan informasi yang diinginkan, kita cenderung memberi perhatian kita secara penuh. Dan kita cenderung untuk mengabaikan atau menghindari informasi berbeda dengan sikap kita dan aktif mencari informasi yang konsisten dengan sikap kita. Jika kita terlanjur menerima telepon seorang telemarketer, pada saat kita sedang sibuk di depan komputer, kita akan mendengarkan penjelasan yang diberikan, tetapi kita akan menolak persuasi yang dilakukannya.
  • Pertahanan aktif terhadap sikap kita yang sudah ada, menyanggah pandangan yang berlawanan. Mengabaikan atau mencari informasi yang tidak sesuai dengan pandangan kita saat ini adalah salah satu cara untuk menolak persuasi. Tetapi, bukti yang ada menunjukan bahwa selain bersikap pasif, kita juga menggunakan strategi yang lebih aktif untuk mempertahankan sikap yang kita miliki: yaitu melawan atau menyanggahnya. Dalam penelitian, siswa yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai pendukung aborsi, dihadapkan pada pesan persuasif yang disampaikan oleh seorang komunikator wanita. Pesan ini berisi hal-hal yang berbeda dengan pandangan mereka. Dan setelah itu mereka menuliskan pendapat mereka dan mereka ternyata tetap mendukung aborsi. Mereka juga menyatakan bahwa mereka berpikir lebih sistematis tentang pesan yang isi iya berbeda dengan pendapatnya (counterattitudinal), dan mereka juga menyatakan bahwa mereka mengeluarkan lebih banyak pikiran yang berlawanan dengan pesan tersebut. Dengan demikian, terdapat satu alasan mengapa kita mampu menolak persuasi yaitu karena kita tidak hanya mengabaikan informasi yang tidak konsisten dengan pandangan kita selama ini, namun kita juga secara hati-hati memproses input yang berlawanan dengan sikap kita dan menyanggah secara aktif hal tersebut. Dengan kata lain, kita membuat benteng yang kuat untuk melawan usaha yang akan merubah sikap kita.
  • Bias asimilasi (biased asimilation) dan polarisasi sikap (attitude polarization). Kedua proses ini berperan dalam kemampuan kita utuk menolak usaha persuasi. Bias asimilasi adalah kecenderungan utuk mengevaluasi informasi yang berbeda dengan pandangan kita miliki sebagai informasi yang tidak meyakinkan atau tidak dapat dipercaya daripada informasi yang mendukung pandangan kita. Sedangkan polarisasi sikap adalah sebuah kecenderungan untuk menginterpretasi berbagai bukti dengan cara memperkuat pandangan awal kita dan membuat pandangan tersebut menjadi lebih ekstrim. Untuk mendukung hasil penelitian tersebut, penelitian tambahan (Duck, Terry dan Hogg, 1998; Valone, Ross dan Lepper, 1985) mengindikasikan bawah saat kita menerima informasi dan sumber informasi yang berlawanan dengan pandangan kita, maka kita cenderung menganggap sumber dan informasi tersebut sebagai bias, efek inilah yang sering kita kenal dengan hostile media bias.

20/02/12

Perencanan dan Operasional Usaha

Dalam memulai usaha baru perlu dibuat perencanaan yang matang, baik yang menyangkut input, proses, output, maupun rencana pemasarannya. Untuk membuat usaha baru, kita harus benar-benar memahami proses bisnis dari A sampai Z tentang usaha yang akan digeluti seperti bidang usaha, lokasi, perizinan, teknologi, pemasaran, dan risiko-risikonya. Sebagai contoh suatu usaha yang memperhatikan hal-hal tersebut di atas, yaitu antara lain :

Pisang Goreng Mr. Banana
Uya Kuya (Artist) meraih keberhasilan usahanya terletak pada perencanaan yang matang tentang penentuan lokasi, keterlibatan masyarakat, berbisnis dengan sepenuh hati, dan menciptakan produk berkualitas.

Usaha Kosmetik Tradisional
Hermin Setiawati (pengusaha Salon Kecantikan) yang mengawali usahanya dengan memanfaatkan ruangan tamu, yang serba terbatas, tetapi dengan kerja keras dan memberikan pelayanan kualitas akhirnya berhasil dan sukses.


1. Kaidah Perencanaan Usaha
Perencanaan yang baik akan mendorong rasa percaya diri yang tinggi dan rasa optimis untuk sukses dari usaha yang dikelolanya. Usaha yang sudahdirencanakan dengan baikpun kadang kala mengalami gegagalan, hal ini bisa terjadi karena adanya ketidakpastian dan kurang jeli dalam melihat peluang dan menentukan jenis usaha apa yang akan dikelola. Perencanaan yang untuk sebuah usaha perlu dirumuskan, untuk itu cobalah berpikir dengan SMART (Spesific, Measurable, Achievable, Reasonable, Trackable), yang dapat diuraikan satu per satu sebagai berikut :
  • Spesific, perencanaan yang dibuat tidak bermakna ganda, sehingga pencapaian tujuan akan lebih terarah karena dalam perencanaan tersebut lebih terfokus dan sangat jelas mengenai apa yang diinginkan.
  • Measurable, perencanaan yang dibuat harus dapat terukur, sehingga kita tahu kapan perencanaan tersebut akan tercapai. Misalnya target penjualan untuk perdana 25 unit untuk wilayah Jakarta Timur. Jadi target harus jelas dan terukur.
  • Achievable, perencanaan yang telah dibuat tersebut harus tercapai, jangan terlalu jauh memikirkan hal-hal yang besar, kita harus memecahkan menjadi lebih kecil dan tercapai. Jika tidak alam bawah sadar kita akan menolaknya.
  • Reasonable, perencanaan yang baik perlu memenuhi persyaratan faktual dan realistis. Artinya, apa yang dirumuskan sangat masuk akal dan rasional. Jika tidak alam bawah sadar kita akan menolaknya.
  • Trackable atau Timely , perencanaan yang telah dibuat dalam pencapaian tujuan usaha, harus dapat dilacak untuk mengetahui setiap kemajuannya. Setiap target harus mempunyai batas waktu pencapaian untuk melihat apakah usaha kita berhasil atau tidak.

2. Penentuan Lokasi & Fasilitas Pendukung (Layout)
Lokasi sangat menentukan keberhasilan suatu usaha, tanpa mempertimbangkan dengan baik dalam menentukan lokasi, maka akan berakibat pada sepinya pengunjung atau tidak dapatnya perusahaan melakukan perluasan. Untuk memilih lokasi perlu dipertimbangkan sesuai keperluannya, yaitu antara lain :
  1. Lokasi kantor, yaitu diperuntukkan sebagai tempat pengendalian kegiatan operasional unit di bawahnya.
  2. Lokasi pabrik, yaitu lokasi yang digunakan untuk melakukan proses produksi barang atau jasa.
  3. Lokasi gudang, yaitu merupakan tempat penyimpanan barang milik perusahaan baik barang yang masuk maupun barang yang keluar.
  4. Lokasi cabang, yaitu lokasi kegiatan usaha perusahaan dalam melayani konsumennya langsung pada wilayah-wilayah tertentu.
Dalam menghindari ekonomi biaya tinggi yang dapat merugikan dan membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam penentuan lokasi yaitu :
  • Dekat dengan pasar
  • Dekat dengan sarana transportasi
  • Pasokan tenaga kerja
  • Listrik, air dan sarana prasarana lainnya
  • Dekat dengan lembaga keuangan
  • Dekat dengan kawasan industri pendukung
  • Dekat dengan pusat pemerintahan
  • Lokasi dapat dikembangkan
  • Pertimbangan hukum, sosial dan budaya masyarakat
  • Dekat dengan pelabuhan, bandara, stasiun dan terminal
  • Besarnya nilai investasi untuk lokasi
  • Nilai ekonomis masa datang dari lokasi
  • Iklim dan tekstur tanah dan lainnya

Perusahaan harus menentukan tujuan yang hendak dicapai dan pertimbangan lainnya, yaitu :
  • Perusahaan dapat menentukan lokasi yang tepat, baik lokasi pabrik, gudang, kantor pusat maupun kantor cabang.
  • Mempertimbangkan urutan produksi dari proses bahan baku, setengah jadi, sampai barang jadi
  • Perusahaan dapat menentukan kapasitas atau metode persediaan yang paling baik untuk dijalankan sesuai dengan bidang usaha yang dijalankan
  • Perusahaan dapat menentukan tata letak (layout) yang sesuai dengan mesin atau teknologi yang digunakan dan dapat menjamin tersedianya lahan untuk pengembangan
  • Kemudahan dalam perawatan dan fleksibilitas
  • Dapat menentukan kualitas dan keselamatan kerja yang dibutuhkan karyawan baik sekarang maupun mendatang
  • Posisi sinar matahari, pendingin dan kebisingan suara
  • Dan pertimbangan lainnya yang memberikan efisiensi

3. Pengorganisasian dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM)
Struktur organisasi diperlukan seiring dengan berkembangnya suatu usaha. Usaha yang menjadi besar membutuhkan semakin banyak bahan baku, proses produksi dan pemasaran. Semakin banyak orang yang terlibat semakin kita membutuhkan organisasi.

Bagaimana struktur organisasi dapat membantu pencapaian tujuan perusahaan? Ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu:
  • Struktur organisasi harus mendukung tercapainya keberhasilan implementasi atau operasionalisasi rencana dengan mengalokasikan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya untuk mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan.
  • Struktur organisasi harus memberikan kejelasan pada karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka.
  • Struktur orgnisasi harus membantu dalam proses pegambilan keputusan dan memproses informasi yang dibutuhkan.
Struktur organisasi berbentuk unitary membagi perusahaan berdasarkan fungsi-fungsi usaha, diantaranya produksi, keuangan, pemasaran, dan sumber daya manusia. Struktur ini banyak ditemukan pada perusahaan-perusahaan manufaktur atau pabrikasi.
Sedangkan multidivisional membagi kegiatan ke dalam beberapa divisi sebagai profit center. Direktur utama bertindak sebagai koordinator divisi-divisi dan berkoordinasi dengan kantor pusat.

Proses pengelolaan SDM pada usaha yang mulai kompleks dapat dimulai dari menentukan jabatan dan jenis pekerjaan yang dibutuhkan, kemudian menentukan tugas, wewenang dan tanggung jawabmasing-masing jabatan. Untuk itu perlu beberapa hal yang berkaitan dengan proses pengelolaan SDM, sebagai berikut antara lain :
  • Analisis pekerjaan dilakukan untuk mempelajari dan mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan suatu jabatan tertentu.
  • Perencanaan SDM merupakan suatu kegiatan yang secara sistematis memperkirakan kebutuhan jumlah dan kualitas sumber daya manusia dalam organisasi atau perusahaan.
  • Pengadaan tenaga kerja (procurement), adalah kegiatan untuk memperoleh jumlah dan jenis tenaga kerja yang tepat. Kegiatan ini meliputi penarikan (recruitment), seleksi (selection) dan penempatan (placement).
Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan kriteria penilaian tenaga kerja untuk dijadikan karyawan, yaitu :
Capability, kemampuan nalar, kecerdasan, cara berpikir sistematis Capacity, Character, Credibility, Commitment, Creativity, dan Compatibility,
• Pelatihan dan Pengembangan
• Kompensasi
• Perencanaan Karir
• Keselamatan & Kesehatan Kerja
• PHK

Pendekatan Mutu Terhadap Proses Operasionalisasi
Total Quality Management (TQM) yaitu adanya kemauan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus, yang melibatkan semua karyawan. Program TQM memiliki dua sisi kualitas yaitu hard side of quality dan soft side of quality.
  • Sisi hard side of quality meliputi semua upaya perbaikan proses produksi mulai dari desain produk sampai dengan penggunaan alat-alat pengendalian seperti Quality Function Development, Just In Time dan Statistical Prosses Control), dan perubahan organisasional lainnya.
  • Penekanan soft side of quality lebih terfokus pada upaya menciptakan kesadaran karyawan akan pentingnya arti kepuasan konsumen dan menumbuhkan komitmen karyawan untuk selalu memperbaiki kualitas.

Kepemimpinan Wirausaha
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam kepemimpinan wirausaha, antara lain:
  • Pemimpin yang baik harus mampu mempengaruhi orang lain dengan memberikan teladan, memberi pandangan masa depan, melakukan bimbingan atau konsultasi dan memberi motivasi.
  • Seorang pemimpin usaha harus pandai membangun sistem yang mendorong karyawan untuk terus menerus mau bekerja keras demi tercapainya tujuan perusahaan.
  • Seorang wirausahawan harus terus menerus mengasah kemampuan kepemimpinannya.
  • Kepemimpinan harus mempunyai otoritas untuk memberikan sebagian kekuasaan kepada karyawan.
Perizinan dan Pendirian Badan Usaha
Beberapa perizinan yang harus diurus sesuai dengan bidang usahanya, antara lain:
  • Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) - melalui Departemen Perdagangan
  • Surat Izin Usaha Industri (SIUI) – melalui Departemen Perindustrian
  • Izin Domisili - melalui kelurahan setempat
  • Izin Gangguan - melalui kelurahan setempat
  • Izin Mendirikan Bangunan (IMB) - melalui Pemda setempat
  • Izin dari instansi atau departemen teknis yang terkait, sesuai bidang usaha yang dijalankan, seperti: (1) Izin tenaga kerja asing, jika memiliki pekerja asing, didapat melalui Departemen Tenaga Kerja, (2) Izin usaha peternakan - melalui Departemen Pertanian, dll.
Contoh dalam mendirikan badan usaha berbentuk perseroan terbatas, persekutuan komanditer, dan sebuah yayasan:
  • Mengadakan rapat umum pemegang saham, dimana semua calon pemegang saham menetapkan segala hak dan kewajibannya dan membuat notulensi sebagai bukti autentik.
  • Membuat akte notaris.
  • Mendaftarkan di Pengadilan Negeri untuk mendapatkan pengesahan.
  • Dicatat melalui berita negara dalam lembaran negara.

Bahan Bacaan:
  • Kewirausahaan, Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda, Suharyadi, Arissetyanto Nugroho, Purwanto S.K., Maman Faturohman, Salemba Empat, 2007.
  • Kewirausahaan Indonesia Dengan Semangat 17-8-45, Puslatkop dan PK, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Jakarta, 1995.
  • Kewirausahaan (Pedoman praktis, Kiat dan Proses Menuju Sukses), Dr. Suryana, Salemba Empat, 2003.
  • Kewirausahaan Teori dan Praktek, Seri Manajemen 77 PPM, Geoffrey. Meredith
  • Pengantar Kewirausahaan, Kerangka Dasar Memasuki Dunia Bisnis, Edisi Pertma, Drs. Masykur Wiratmo, Msc, BPFE, Jogyakarta
  • Dasar-dasar Kewirausahaan, Drs. Astim Riyanto, SH, MH, Yapemdo, Bandung
  • Pedoman Perencanaan Usaha, Edisi keenam, Devid H. Bangs, Jr, Erlangga,
  • Entepreneurship Creativity & Organisasi, Te+t, Case, & Reading, John Kao, Prentice Hall, Englewood, New Jersey

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...