19/11/12

Langkah-Langkah Pengendalian dan Pengelolaan Isu


Fungsi yang dibutuhkan Manajemen Issue
United State Public Affairs Council (Regester & Larkin, 2003:44-46) menyatakan bahwa fungsi-fungsi yang dibutuhkan bagi manajemen issue adalah pengidentifikasian berbagai issue dan tren, mengevaluasi dampak mereka dan menempatkan prioritas, menetapkan posisi suatu perusahaan, merancang tindakan dan respon dari perusahaan untuk membantu mendapatkan posisi tersebut serta mengimplementasikan rencana.

Fungsi-fungsi ini harus ada secara konstan dan terintegrasi serta terfokus pada tugas utama yakni membantu organisasi, melalui manajemennya. Kunci dari tugas-tugas tersebut adalah merencanakan, memonitor, menganalisa dan mengkomunikasikan.

Heath & Cousino mengidentifikasikan empat kebutuhan fungsi umum agar sebuah perusahaan dapat memaksimalkan posisinya serta memelihara lingkungan kebijakan publiknya secara positif, dengan sebuah fokus utama yakni memperhatikan hubungan dengan para stakeholder-nya: 

a. Perencanaan dan operasi yang cerdas
Bila para ahli manajemen issue cakap dalam menangkap perubahan penting di lingkungan kebijakan publik, maka informasi itu harus diintegrasikan ke dalam rencana bisnis strategis dan strategi manajemen korporat, karena informasi seperti itu dapat menawarkan kesempatan bisnis, membenarkan pembatasan atau perubahan atas kegiatan bisnis serta mengarahkan standar bagi operasi perusahaan.

b. Pertahanan yang kuat dan penyerangan yang cerdas
Manajemen issue menawarkan landasan, alat dan dorongan agar terlibat dalam diskusi issue kebijakan publik sedini mungkin. Jika perusahaan bisa terlibat sebelum issue meluas, mereka dapat meningkatkan kemungkinan kesuksesan kampanye komunikasi mereka.

c. “Getting the house in order”
Artinya adalah memeriksa permintaan untuk mendapatkan komitmen yang layak atas masalah-masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Riset di AS menemukan bahwa kekuatan pasar tidak menentukan nasib perusahaan, tapi perubahan kebijakan publiklah yang memegang peranan. Para praktisi humas harus sensitif terhadap kekuatan kebijakan publik dan membantu dalam perencanaan perusahaan serta dalam pembentukan etika bisnis. Esensi menjadi organisasi yang bertanggungjawab dalam dunia modern ini adalah dengan bergerak dari menangani permintaan-permintaan eksternal hingga bagaimana memenuhi permintaan-permintaan tersebut sebaik-baiknya dalam konteks teknis dan ekonomis perusahaan.

d. Mengeksplorasi landasan
Apa yang dipercaya perusahaan sebagai karakter dari pasar mungkin adalah untuk mempengaruhi rencana bisnis strategis mereka. Hal yang sama dapat dikatakan terhadap bisnis yang menggunakan pemonitoran issue untuk mengukur lingkungan kebijakan publik. Kompleksitas yang lebih tinggi telah digunakan dalam usaha untuk memproses sistem manajemen informasi yang strategis. Sebagai tambahan terhadap polling pengumpulan pendapat langsung dan survey, para pakar menggunakan teknik ilmiah sosial untuk menawarkan cara melihat bagaimana issue dapat diidentifikasi, dimonitor dan dianalisa. Kunci menjadikan kegiatan ini efektif adalah pemahaman kultur perusahaan, struktur organisasi dan politisnya serta karakter dari analisa issue kebijakan publik. Setelah itu, perusahaan akan dapat menentukan issue apa yang akan dimonitor dan dianalisa ketika mereka memproses rencana kebijakan publik dan strategis mereka. Proses ini membutuhkan lebih dari sekedar survey pendapat publik yang diadakan secara periodik.



Model Proses Manajemen Issue dari Chase & Jones
(Regester & Larkin, 2003:59-60; Chase, 1984:38-68; Harrison, 2001)

a. Identifikasi Issue
Tujuan utama identifikasi issue adalah untuk menempatkan prioritas awal atas berbagai issue yang mulai muncul. Issue-issue tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan:

  • Jenis: sosial, ekonomis, politis, teknologis 
  • Sumber Respon: sistem bisnis, industri, perusahaan, anak perusahaan, departemen
  • Geografi: internasional, nasional, regional, daerah, lokal
  • Jarak terhadap kontrol: tak terkontrol, agak terkontrol, terkontrol
  • Kepentingan: segera, penting
  • Faktor seperti tingkat dampak serta kemungkinan bahwa issue akan berkembang dalam periode waktu yang dapat diprediksi juga harus dipertimbangkan.

b. Analisis Issue
Setelah issue yang muncul diidentifikasi dan diprioritaskan, tahap kedua dimulai. Tujuannya adalah menentukan asal issue tersebut yang seringkali sulit karena biasanya issue tidak muncul hanya dari satu sumber saja. Untuk itu, sebaiknya diadakan riset kualitatif dan kuantitatif. Pengalaman organisasi di masa lampau dan saat ini baik internal maupun eksternal juga harus disertakan. Menganalisa situasi saat ini akan menentukan intensitas issue yang tengah berlangsung. Riset aplikasi tentang hubungan issue terhadap perusahaan harus ditargetkan pada para pembentuk opini dan penanggungjawab media. Tahap riset dan analisa awal ini akan membantu mengidentifikasi apa yang dikatakan oleh para individu dan kelompok berpengaruh tentang issue-issue dan memberikan ide yang jelas pada manajemen tentang asal serta perkembangan issue-issue tersebut. Pengecekan terhadap posisi perusahaan pada saat ini serta kekuatan dan kelemahannya dalam memposisikan diri untuk berperan dalam pembentukan issue akan membantu untuk memberikan fokus yang jelas bagi tahap perencanaan tindakan.

c. Pilihan Strategi Perubahan Issue
Tahap yang melibatkan pembuatan keputusan-keputusan dasar tentang respon organisasi. Terdapat tiga pilihan untuk menghadapi perubahan tersebut sebagai berikut:

  1. Strategi Perubahan Reaktif. Mengacu pada keengganan suatu organisasi untuk berubah dengan penekanan pada melanjutkan sikap lama, contohnya dengan berusaha untuk menunda keputusan kebijakan publik yang tidak bisa dihindari. Keengganan untuk berubah ini jarang menyisakan ruang bagi kompromi terhadap masalah legislatif.
  2. Strategi Perubahan Adaptif. Menyarankan pada keterbukaan terhadap perubahan serta kesadaran bahwa hal ini tidak bisa dihindari. Pendekatan ini berlandaskan pada perencanaan untuk mengantisipasi perubahan serta menawarkan dialog konstruktif untuk menemukan sebuah bentuk kompromi atau akomodasi.
  3. Strategi Respon Dinamis. Mengantisipasi dan mengusahakan untuk membentuk arah keputusan kebijakan publik dengan menentukan bagaimana berkampanye melawan issue akan dilakukan. Pendekatan ini menjadikan organisasi sebagai pelopor pendukung perubahan.
  4. Pemrograman Tindakan terhadap Issue. Setelah memilih satu dari ketiga pendekatan di atas untuk merespon setiap issue, organisasi harus memutuskan kebijakan yang mendukung perubahan yang diinginkan untuk masuk ke tahap keempat. Tahap ini membutuhkan koordinasi sumber-sumber untuk menyediakan dukungan maksimal agar tujuan dan target dapat tercapai.
  5. Evaluasi Hasil. Akhirnya, dibutuhkan riset untuk mengevaluasi hasil program yang didapat (actual) dibandingkan dengan hasil program yang diinginkan.


Regester& Larkin (2003:60-61) mengingatkan bahwa semakin lama issue bertahan, semakin sedikit pilihan yang tersedia dan semakin mahal biayanya, seperti yang diperlihatkan gambar di bawah ini:



Pengendalian dan Pengelolaan Issue
Proses tambahan bagi model manajemen issue dalam Modul 1 (siklus issue dari Hainsworth & Meng) dapat dipetakan untuk menggambarkan peran pembuatan keputusan manajemen pada setiap fase (Regester & Larkin, 2003:99-102):

a. Fase Kesadaran: dipetakan pada tahap 1 dari siklus issue – issue potensial. Di sini, penekanan dalam tim manajemen adalah pada mendengarkan dan mempelajari. Mereka yang terlibat harus terjaga, terbuka, rendah hati, penasaran serta tertantang. Latar belakang informasi dan riset harus digunakan selengkapnya serta mengadakan pemonitoran infrastruktur.

b. Fase Eksplorasi: Tahap ini mengindikasikan urgensi yang meningkat terhadap pentingnya issue. Tanggungjawab khusus harus dibagikan, kesadaran organisasi ditingkatkan dan proses analisa serta pembentukan opini dimulai. Suatu gugus tugas dapat dibentuk untuk memudahkan alokasi tanggungjawab.  Berikut adalah karakteristik contoh gugus tugas:

  • Senioritas untuk mengambil keputusan, mengalokasikan sumber serta mengarahkan implementasi program.
  • Ukuran disiplin direpresentasikan dan akses yang sesuai atas informasi untuk tujuan pengambilan keputusan.
  • Akses yang mudah untuk mengatur rapat serta ‘jaringan’ informasi; fleksibilitas dan informalitas dalam metode bekerja.
  • Kemampuan untuk mengkombinasikan keahlian analitis dan kreatif dengan tindakan serta pengambilan keputusan yang terfokus dan cepat.
  • Meminimalisir arus kertas untuk menghindari birokrasi, respon yang lamban serta kebocoran informasi yang sensitif.
  • Kesadaran yang lebih luas atas issue tersebut di dalam perusahaan ditingkatkan pada tahap ini dan analisis serta proses pembentukan opini dimulai.


c. Fase Pembuatan Keputusan:
Pada tahap ini perusahaan harus mempertimbangkan tindakan. Tim manajemen harus mengukur dan memutuskan secara objektif terhadap beberapa alternatif yang diperlihatkan seraya mendorong pemikiran yang luas dan kreatifitas dalam memformulasikan suatu rencana tindakan.

d. Fase Implementasi:
Tahap ini melibatkan pengambilan langkah-langkah yang sesuai untuk membuat keputusan manajemen dilaksanakan.

e. Fase Modifikasi:
Pengukuran dan evaluasi dari tindakan yang tengah dijalankan serta hasilnya, sehingga penyesuaian atau perbaikan terhadap rencana tindakan dapat dibuat.

f. Fase Penyelesaian:
Tahap ini adalah periode relaksasi yang harus menurunkan tingkat keterlibatan manajemen senior. Kegiatan kunci melibatkan delegasi yang sesuai dan menjamin implementasi atas perubahan yang dihasilkan manajemen dalam organisasi.


Manajemen issue yang efektif dapat membantu membangun manfaat dan penjualan yang kompetitif, terutama dalam pasar yang baru; juga dapat membantu mengeksploitasi kesempatan atau melindungi kebijakan organisasi ketika terdapat potensi bagi perubahan sosial yang penting. Tekanan-tekanan dari pasar yang dinamis, kegiatan kompetitor serta ketersediaan sumber daya dapat menyulitkan dalam mengantisipasi, memulai atau merencanakan berbagai issue penting.

Kerry Tucker & Bill Trumpfheller (Regester & Larkin, 2003:102-112), menetapkan sebuah rencana lima langkah untuk membantu mencanangkan sebuah sistem manajemen issue yang telah berhasil dipraktekkan di lapangan:

a. Mengantisipasi issue dan menetapkan prioritas
Membentuk gugus tugas internal, berdasarkan kerangka pendekatan dalam proses terdahulu merupakan titik awal vital. Sesi pertukaran pikiran dan analisa database harus memfokuskan pada penjawaban pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Siapa kompetitor langsung dan tak langsung serta faktor sosial atau regulasi apa yang harus kita hadapi?
  • Perubahan apa yang harus kita antisipasi dalam pasar serta dalam lingkungan politis dan sosial yang lebih luas 12 bulan mendatang dan masa-masa ke depan?
  • Faktor-faktor apa yang mungkin berdampak pada cara kita bekerja?
  • Peristiwa khusus apa yang mungkin terjadi dan memiliki dampak pada kemampuan kita untuk memelihara dan mengembangkan pasar kita?

Sekali issue-issue ini dapat teridentifikasi, kita dapat menempatkan prioritas dan mengambil keputusan tentang berapa lama dan berapa besar sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi issue-issue tersebut.

b. Menganalisa Issue
Kembangkan analisa issue yang singkat dan formal, lihatlah pada kesempatan-kesempatan serta ancaman terhadap serangkaian skenario yang berbeda. Hal ini harus mencakup apa yang terjadi bila issue dibiarkan, serta pengukuran bagaimana khalayak kunci mungkin terkena dampak oleh issue tersebut. Juga harus ada ringkasan kemana arah issue mungkin berkembang. Hal ini akan memberikan pada manajemen pandangan yang luas atas issue serta efeknya pada sejumlah area seperti penempatan posisi produk di pasar, kinerja keuangan, reputasi perusahaan serta prospektif bagi regulasi atau bahkan pengadilan.

c. Merekomendasikan posisi organisasi terhadap issue
Analisa dari langkah sebelumnya harus menyediakan database untuk mengembangkan suatu posisi yang direncanakan untuk menciptakan dukungan mayoritas terbesar dari para individu atau kelompok-kelompok yang terkena dampak. Database tersebut dibentuk berdasarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Siapa yang terkena dampak?
  • Bagaimana kelompok atau para individu yang terkena dampak ini memandang issue tersebut?
  • Apa kemungkinan posisi dan kecenderungan sikap mereka?
  • Apa informasi/data yang dapat kita kumpulkan untuk mendukung kasus kita?


d. Mengidentifikasikan kelompok dan pembentuk opini yang dapat memperbaiki posisi kita
Kelompok-kelompok dan para individu ini akan terlihat melalui pertanyaan berikut:

  • Siapa yang membuat keputusan atas issue tersebut?
  • Siapa yang mungkin mendukung posisi kita?
  • Siapa yang mungkin tidak akan mendukung posisi kita?
  • Siapa yang dapat menjadi target kita untuk membuat perubahan terbesar dalam memperbaiki posisi kita?

Jika mungkin, riset harus dilaksanakan untuk memvalidasikan asumsi yang dibuat tentang kelompok-kelompok selama tahap analisa. Para pembentuk opini, diikuti oleh industri berpengaruh atau asosiasi karyawan, konsumen dan kelompok-kelompok berkepentingan serta media massa yang sudah mendapatkan informasi, dapat menjadi pendukung kuat dalam berurusan dengan khalayak yang bervariasi, serta kriteria untuk menyeleksi mereka termasuk:

  • Siapa yang dimintai nasehat/saran oleh anggota kelompok target kita atas issue tersebut?
  • Siapa yang akan dipercayai oleh komunitas (konsumen, pelanggan) dan masyarakat luas atas issue tersebut?
  • Siapa yang mempunyai kredibilitas paling baik untuk memperbaiki posisi kita terhadap issue tersebut?
  • Siapa yang mungkin terbuka terhadap posisi kita atas issue tersebut?


e. Mengidentifikasi sikap yang dikehendaki
Hal ini merupakan poin yang sering gagal diperhatikan. Memperbaiki sikap khusus yang berhubungan dengan posisi perusahaan akan membawa perkembangan pada sisa proses perencanaan, yakni: strategi komunikasi dan pemasaran, tujuan, target, pesan, taktik, alokasi sumber daya serta anggaran.

Akhirnya, evaluasi kemajuan harus dimasukkan ke dalam rencana untuk menjamin bahwa target-target kunci dipenuhi, arah issue tergambarkan serta penyesuaian-penyesuaian dibuat jika memungkinkan.

Implementasi kegiatan-kegiatan berikut ini sedini mungkin baik untuk memperoleh inisiatif dan perlindungan terhadap berbagai perkembangan yang tidak diharapkan:

1. Pembentukan gugus tugas: 

  • Identifikasikan gugus tugas yang berpengalaman/berasal dari sumber yang sesuai untuk menggambarkan serta mengelola strategi respon terhadap issue.
  • Menjaga pendekatan yang fleksibel dan kreatif untuk mempertimbangkan ukuran perlawanan, perubahan regulasi serta inisiatif untuk posisi perusahaan yang positif.
  • Berpikir secara positif dan proaktif secara menyeluruh, sangat mudah terjebak menggunakan strategi defensive sehingga kehilangan kesempatan untuk mengamankan atau memperoleh kesempatan dukungan dari pra pembentuk opini, media serta publik.


2. Pertukaran pikiran dan analisa yang cerdas:

  • Memonitor, mengumpulkan dan memeriksa kembali data/riset yang relevan.
  • Menilai kegiatan kompetitor/regulasi secara konstan serta merujuk pada pengalaman praktis yang sama dari perusahaan-perusahaan lain sebagai petunjuk pendekatan.
  • Memperoleh dan memonitor publikasi rekanan/publikasi para pakar yang relevan sedini mungkin untuk penilaian dan tindakan yang dibutuhkan; kejarlah bisnis serta media massa yang lebih luas.


3. Juara issue:
Salah satu cara mengelola kebutuhan bagi pengumpulan dan analisis data adalah dengan menugaskan tiap issue kepada seseorang di dalam organisasi yang berpengalaman sesuai. Pakar-pakar internal ini, para “juara issue”, harus bertindak sebagai sumber informasi yang bisa dipercaya untuk membantu gugus tugas dan manajemen lain dalam perencanaan serta koordinasi aktivitas-aktivitas terkait.

4. Materi latar belakang untui briefing:
Siapkan informasi latar belakang yang relevan dengan pemosisian organisasi yang diinginkan seperti pesan-pesan kunci, latar belakang perusahaan/produk/servis, Q&A, kontak referensi dan database riset, perlengkapan contoh presentasi, dan lain-lain.

5. Database riset: 
Dalam sektor industri dimana ada potensi bagi resiko terhadap kesehatan, keamanan publik atau lingkungan, penting untuk membuat dan menyimpan database teknis dan ilmiah tentang berbagai informasi yang terkait, contohnya keamanan jangka panjang sebuah obat, ketatnya sistem pemonitoran higienis dalam pemrosesan makanan, frekuensi pengecekan keamanan rutin serta peristiwa aktual yang terjadi pada fasilitas manufaktur, penggunaan pakar audit keamanan dan penilaian dampak independen untuk mendorong teknik praktek terbaik agar meminimalkan resiko kebocoran kimiawi atau minyak,  dan lain-lain.

6) Manajemen hubungan:
Membangun kesamaan dini melalui pengembangan dan pengelolaan hubungan berpengaruh dengan:
o Para akademisi pendukung serta pembentuk opini lainnya
o Wartawan yang terpelajar
o Otoritas regulasi
o Asosiasi industri dan karyawan
o Unit-unit kebijakan
o Kelompok politis pada tingkat lokal, nasional dan internasional
o Kelompok-kelompok lokal dan kelompok-kelompok penekan/berkepentingan lainnya
Lakukan hubungan melalui kontak dan briefing informal; distribusi informasi; pensponsoran program-program pendidikan serta riset, dan lain-lain. Kelompok-kelompok di atas berkomunikasi secara formal dan informal bersamaan, sehingga penting untuk memahami relasi di antara mereka serta potensi bagi agenda-agenda umum atas issue yang terkait dengan pemosisian organisasi. Cobalah untuk menilai persepsi/opini mereka atas issue-issue potensial dengan mengklasifikasikan mereka ke dalam kelompok positif/netral/negatif.

7) Pengembangan pembentuk opini:
Kontak dan bangun hubungan dengan para pembentuk opini potensial suportif yang bisa menjadi pendukung independent dan berpengaruh terhadap pemosisian perusahaan yang diinginkan.
Pertimbangkan penggunaan taktik seperti pensponsoran riset dan publikasi, undangan untuk menghadiri simposium, atur atau berikan data pada rapat-rapat serta diskusi meja bundar jika memungkinkan.

8) Program informasi/pendidikan:
Membangun dukungan pada lapisan paling bawah melalui pengorganisasian rapat komunitas, korespondensi, roadshow serta penyediaan pelatihan/bantuan pendidikan untuk mendorong pemahaman dan minat yang lebih efektif. Kegiatan yang serupa dapat dipertimbangkan bagi kelompok-kelompok pelanggan dan pemasok.

9) Masalah regulasi:
Persiapkan diri untuk merespon secara proaktif terhadap pertanyaan-pertanyaan peraturan potensial yang terkait dengan kinerja organisasi, produk & servis.
Siapkan respon dan kembangkan informasi terkini yang relevan yang dapat dikirimkan secra teratur kepada otoritas yang sesuai.
Organisasikan program rapat untuk membangun hubungan serta menetralkan pelaporan tak menyenangkan yang potensial.

10) Manajemen media:
Bekerja sama dengan berbagai media massa (spesialis atau umum pada tingkat nasional/ regional/internasional) secara proaktif dengan membangun kontak, menjamin ketersediaan juru bicara, mengeluarkan pernyataan pers, surat kepada publikasi spesialis, artikel bylined, briefing dan lokakarya media.
Monitor liputan editorial dan jurnalis individual atau publikasi bagi kepentingan tertentu; klasifikasikan ke dalam sikap editorial yang positif/netral/negatif dengan menggunakan ongoing basis dan segera ikuti dengan pernyataan penting.
Melatih juru bicara yang sesuai, perusahaan, teknis dan pemasaran, bahkan pembentuk opini independen yang mendukung jika memungkinkan.

11) Pendekatan “glocal”:
Bertindak secara lokal namun berpikir secara global dalam mengelola issue. Pertimbangkan implikasi bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang serupa, juga industri secara keseluruhan, untuk memutuskan apakah pendekatan koalisi mungkin lebih efektif.
Harus menyadari ketika dampak sebuah issue terjadi di suatu pasar, akan dapat melintasi perbatasan nasional serta mulai secara cepat di negara-negara lain ketika agenda politis lokal atau kompetitor dapat menyebabkan ancaman-ancaman baru.

12) Membuat checklist untuk mempermudah perencanaan program manajemen issue.







DAFTAR REFERENSI



Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.

Chase, W. Howard. Issue Management: origins of the future. U.S.A.: Issue Actions Publications Inc., 1984.

Harrison, Kim. Strategic Public Relations: A Practical Guide to Success – 2nd Edition. Vineyard Publishing, 2001.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

18/11/12

Manajemen Issue & Krisis dan PR


Definisi Manajemen Issue
Terminologi “issues management” pertama kali dipublikasikan oleh W. Howard Chase pada tanggal 15 April 1976 dalam newsletter-nya “Corporate Public Issues and Their Management” Volume 1 No. 1. Newsletter tersebut, sekarang sering disebut CPI, menyebutkan bahwa tujuan-tujuan manajemen issue adalah untuk memperkenalkan dan memvalidasikan suatu penetrasi dalam desain dan praktek manajemen korporat dengan tujuan untuk setidaknya mengelola issue publik korporat sebaik atau bahkan lebih baik dibandingkan manajemen tradisional dari operasional yang hanya memikirkan keuntungan saja. Ia juga berkata bahwa isi newsletter-nya akan menggiring pembacanya pada revisi dasar atas praktek-praktek yang berbiaya tinggi dan tak sesuai dari jajaran staff manajemen tradisional.  Ditambahkannya bahwa pada masa ini hanya ada satu manajemen dengan satu tujuan: bertahan hidup dan kembali pada kapital yang cukup untuk memelihara produktivitas, apapun iklim ekonomi dan politik yang tengah berlangsung. (Caywood, 1997:173).

Bersama rekannya, Barry Jones, Chase mendefinisikan “Manajemen Issue” sebagai ‘sebuah alat yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengidentifikasi, menganalisa dan mengelola berbagai issue yang muncul ke permukaan (dalam suatu masyarakat populis yang mengalami perubahan tanpa henti) serta bereaksi terhadap berbagai issue tersebut SEBELUM issue-issue tersebut diketahui oleh masyarakat luas.’ (Regester & Larkin, 2003:38).

Pada 1992 dalam acara “Public Relations Colloquium” yang disponsori oleh firma PR dari Nuffer, Smith, Tucker, Inc. San Diego State University dan Northwestern University’s Medill Scholl of Journalism, sekelompok praktisi PR mengembangkan sebuah definisi yang beorientasi pada tujuan:


“Manajemen issue adalah proses manajemen yang tujuannya membantu melindungi pasar, mengurangi resiko, menciptakan kesempatan-kesempatan serta mengelola citra sebagai sebuah aset organisasi bagi manfaat keduanya, organisasi itu sendiri serta stakeholder utamanya, yakni pelanggan/konsumen, karyawan, masyarakat dan para pemegang saham”. (Caywood, 1997:173)

Para pakar PR Indonesia mengartikan manajemen issue sebagai “fungsi manajemen yang mengevaluasi sikap masyarakat, baik internal maupun eksternal, mengidentifikasi hal-hal atau masalah yang patut dikhawatirkan dan melakukan usaha-usaha ke arah perbaikan”. Selain itu, mereka juga mengartikannya sebagai “suatu usaha aktif untuk ikut serta mempengaruhi dan membentuk persepsi/pandangan/opini dan sikap masyarakat yang mempunyai dampak terhadap perusahaan”. (Wongsonagoro, 1995)


Pengertian Issue
Kita tidak akan mudah memahami terminologi “Manajemen Issue” di atas tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan issue (bukan terjemahan dari gossip/ rumour).

Menurut dua pakar di AS, Hainsworth dan Meng, sebuah issue muncul “sebagai suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan, atau diusulkan untuk dilakukan, oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal, atau dapat menjadi masalah kebijakan publik melalui tindakan legislative atau perundangan.” Chase & Jones menggambarkan “issue” sebagai ‘sebuah masalah yang belum terpecahkan yang siap diambil keputusannya’ (‘an unsettled matter which is ready for decision’). Pakar lain mengatakan bahwa dalam bentuk dasarnya, sebuah “issue“ dapat didefinisikan sebagai ‘sebuah titik konflik antara sebuah organisasi dengan satu atau lebih publiknya’ (‘a point of conflict between an organization and one or more of its audicences’). (Regester & Larkin, 2003:42). 
Sementara Heath & Nelson (1986) mendefinisikan “issue” sebagai ‘suatu pertanyaan tentang fakta, nilai atau kebijakan yang dapat diperdebatkan’ (‘a contestable question of fact, value or policy’). 

Definisi sederhana lainnya menurut Regester & Larkin (2003:42) bahwa sebuah “issue“ merepresentasikan ‘suatu kesenjangan antara praktek korporat dengan harapan-harapan para stakeholder’ (‘a gap between corporate practice and stakeholder expectations’). Dengan kata lain, sebuah issue yang timbul ke permukaan adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar organisasi, yang jika dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang.

Dari berbagai definisi di atas, terlihatlah bahwa pengertian “issue” menjurus pada adanya masalah dalam suatu organisasi yang membutuhkan penanganan. Cara menangani issue tersebut yang pada akhirnya memunculkan teori dan proses “manajemen issue”.

Contoh-contoh yang menyebabkan perlunya manajemen issue termasuk prospektif bagi perundang-undangan yang baru, suatu opini atau klaim yang didukung oleh media ataupun saluran lainnya, perkembangan yang kompetitif, riset yang dipublikasikan, sebuah perubahan dalam kinerja atau kegiatan organisasi itu sendiri atau individu maupun kelompok yang terkait dengan organisasi tersebut.


Manajemen Issue & Krisis serta Hubungannya dengan Bidang PR
Seiring dengan kemajuan teknologi, industri media massa menjadi semakin beragam dan persaingan di antara mereka menjadi semakin ketat dalam memperoleh berita yang sensasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa biasanya berita yang menjadi topik hangat adalah berita yang mengandung suatu masalah yang kontroversial ataupun hal-hal buruk yang sedang menimpa seorang tokoh, sebuah organisasi/perusahaan hingga sebuah negara. Terutama bila issue yang muncul tersebut memiliki dampak tertentu (biasanya dampak yang buruk) pada masyarakat luas. Semakin hangat topik tersebut dibicarakan publik, semakin giat para wartawan menggali topik tersebut dan mengejar-ngejar para nara sumber.

Bayangkan bila Anda bekerja sebagai praktisi humas di sebuah perusahaan obat dan mendapati laporan media yang menghubungkan salah satu produk unggulan perusahaan Anda dengan kematian sejumlah konsumen produk tersebut. Saat seperti inilah yang menjadi tanda atau gejala munculnya sebuah krisis. Dan bila si praktisi humas tidak melakukan tindakan cepat untuk mengantisipasi berita tersebut, besar kemungkinan perusahaannya akan benar-benar menghadapi krisis yang dapat menghancurkan perusahaan.

Pengendalian dan pengelolaan issue serta krisis menjadi sebuah bidang khusus yang harus ditangani humas karena pada saat seperti ini reputasi perusahaan berada dalam taruhan.
Reaksi manajemen issue yang efektif berdasarkan pada dua aturan kunci: identifikasi awal dan reaksi yang terorganisir dalam mempengaruhi proses kebijakan publik. Yang harus diingat adalah bahwa mengelola issue seharusnya tidak dianggap sebagai kegiatan defensif. Sifat manajemen issue ini adalah proaktif karena manajemen issue adalah sebuah proses yang proaktif, antisipatoris serta terencana yang dirancang untuk mempengaruhi perkembangan sebuah issue sebelum issue tersebut berkembang ke tahap yang membutuhkan manajemen krisis.


PENTINGNYA MANAJEMEN ISSUE SERTA HUBUNGANNYA DENGAN REPUTASI ORGANISASI/PERUSAHAAN
Bila kita lanjutkan kasus di atas, ketika sang praktisi humas dan pihak manajemen perusahaan membiarkan issue yang diangkat oleh sebuah media tersebut berkembang, berarti mereka tengah mempertaruhkan reputasi perusahaannya dalam situasi yang berbahaya.

Perhatikan definisi PR atau humas yang terbaru dari IPR (the Institute of Public Relations) di Inggris berikut ini:
“PR berkaitan dengan reputasi – hasil dari apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan dan apa yang dikatakan orang lain tentang kita.”
Dan berikut ini:

“Praktik PR adalah disiplin ilmu yang memelihara reputasi dengan tujuan untuk mendapatkan kesepahaman dan dukungan serta untuk mempengaruhi opini serta perilaku.”

Jelaslah bahwa tujuan utama dari segenap kegiatan PR dari suatu organisasi adalah membentuk reputasi organisasi tersebut dan memeliharanya agar mendapatkan kesepahaman dan dukungan dari publik yang ditujunya, serta mempengaruhi opini dan perilaku mereka terhadap organisasi. Dan yang harus terus diingat adalah bahwa reputasi ini sangat rapuh serta dapat hancur seketika akibat kata-kata atau tindakan yang tidak mencerminkan simpati atas suatu realita. Contoh yang paling nyata adalah Gerald Ratner, pemilik perusahaan perhiasan Ratners di Inggris yang menyebut produk yang dijual perusahaannya sebagai “sampah”. Akibat ucapannya yang dianggap meremehkan publik utama perusahaannya, yakni para pelanggan, reputasi perusahaannya hancur sehingga kedudukannya sebagai CEO harus diganti dan bahkan juga nama perusahaannya.
Kembali pada kasus perusahaan obat, si praktisi humas harus menyadari bahwa dengan pemberitaan yang makin sering di media massa akan menempatkan perusahaannya dalam penilaian publik. Masyarakat menunggu tindakan konkrit dari pihak manajemen perusahaan, terutama keluarga mereka yang menjadi korban. Adalah tugas dan tanggungjawab humas untuk merespon tuntutan publik tersebut. Dan bila issue ini tidak segera ditangani dengan baik, maka potensinya akan besar sekali untuk menjadi krisis. Dan jika krisis benar terjadi di perusahaan tersebut, maka reputasi perusahaan yang telah dibentuk dan diperlihara oleh si praktisi humas selama bertahun-tahun dapat hancur seketika. Sehingga jelaslah pentingnya manajemen issue bagi pemeliharaan reputasi perusahaan yang sudah susah payah dibentuk dan oleh si praktisi humas dan pihak manajemen perusahaan selama ini.

Riset akademis dan contoh-contoh studi kasus praktis menunjukkan bahwa penggunaan yang efektif atas teknik-teknik manajemen issue akan meningkatkan pangsa pasar, memperbaiki reputasi perusahaan/organisasi, menghemat keuangan serta membangun hubungan-hubungan yang penting. Sebaliknya, kegagalan dalam menerapkan manajemen issue akan membawa perusahaan pada erosi pangsa pasarnya, berdampak pada reputasinya, menderita kerugian, menempatkan perusahaan/organisasi dalam sorotan negatif serta mengurangi independensi perusahaan melalui peningkatan peraturan. 



TAHAPAN ISSUE DAN HUBUNGANNYA DENGAN KRISIS
Menurut Hainsworth (Regester & Larkin, 2003:47), issue biasanya berkembang dalam cara yang dapat diprediksi, bersumber dari tren atau peristiwa yang berkembang melalui suatu rangkaian tingkatan yang dapat diidentifikasi serta tidak berbeda dari siklus perkembangan sebuah produk. Karena evolusi atau perkembangan sebuah issue sering menghasilkan kebijakan publik, semakin dini suatu issue yang relevan diidentifikasi dan dikelola dalam rangka respon organisasional yang sistematis, semakin mungkin organisasi tersebut dapat mengatasi konflik serta meminimalisir implikasi biaya demi keuntungannya. Karena itulah, memahami siklus perkembangan issue sangat penting.
Sedangkan trend (tren) menurut Howard Chase adalah perubahan yang terdeteksi yang mendahului issue.

Max Meng mengidentifikasi enam kelompok atau publik yang mungkin membuat issue: partner, asosiasi karyawan, masyarakat umum, pemerintah, media massa dan kelompok penekan/kelompok yang berkepentingan. Pengaruh mereka pada organisasi bervariasi dari mengontrol operasi perusahaan hingga membentuk koalisi internal dan eksternal untuk meningkatkan pengaruh potensial mereka atas sebuah issue. Jadi, ketika issue siap diambil keputusannya, respon organisasi dapat menjadi penting. Meng mengkategorikan issue kepada beberapa tipe: demografis, ekonomis, lingkungan, pemerintah, internasional, sikap publik, sumber daya, teknologis serta nilai dan gaya hidup.

Menurut Hainsworth, sebuah issue diciptakan sebagai sebuah ide yang memiliki dampak potensial pada beberapa organisasi atau publik yang mengakibatkan tindakan yang menyebabkan peningkatan kesadaran dan/atau reaksi pada bagian dari organisasi atau publik lainnya. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Hainsworth & Meng (Regester & Larkin, 2003: 48), proses ini dapat digambarkan sebagai siklus yang terdiri dari empat tahap berikut: sumber, mediasi, organisasi dan resolusi.


SIKLUS KEHIDUPAN ISSUE


Sumber: Hainsworth & Meng

Dalam gambar “Siklus Kehidupan Issue” di atas, sumbu vertikal mereprentasikan tingkat tekanan yang dikenakan pada sebuah organisasi dengan mengembangkan suatu issue; sumbu horizontal merepresentasikan ragam tahapan perkembangan issue. Pada setiap tahap dari evolusi, tekanan pada organisasi meningkat untuk segera merespon akibat peningkatan kepentingan issue.

TAHAP 1 - Sumber: Issue Potensial

  • “Sebuah issue muncul ke permukaan ketika sebuah organisasi atau kelompok merasa berkepentingan terhadap suatu masalah (atau kesempatan) yang terlihat seperti konsekuensi perkembangan tren politik atau undang-undang, ekonomi dan sosial. (Crabble & Vibert, 1985). Dari sudut pandang manajemen, tren harus diidentifikasi sebagai asal kemunculan issue. Biasanya tren teridentifikasi di kalangan akademisi atau para pakar yang berpartisipasi dalam kelompok kerja, unit kebijakan dan perencanaan yang mungkin menyadari beberapa masalah, situasi atau peristiwa yang berpotensi memiliki dampak serta membutuhkan respon dari sebuah institusi, organisasi, industri atau kelompok lain.
  • Issue mulai menguat ketika suatu organisasi/kelompok berencana untuk melakukan sesuatu yang memiliki konsekuensi bagi orang atau kelompok lain. Kesadaran dan perhatian pada pihak suatu kelompok menyebabkan keputusan mereka untuk “melakukan sesuatu”. Di sini garis sudah tergambar dan konflik mulai timbul.
  • Jadi yang kita lihat dalam tahap awal ini adalah kondisi/peristiwa nyata yang mempunyai potensi untuk berkembang menjadi sesuatu yang penting. Bagaimanapun juga tipe issue yang ada dalam fase ini biasanya belum terlihat oleh para pakar atau perhatian publik, walaupun beberapa ahli sudah mulai menyadari kehadiran issue tersebut.
  • Pada tahap 1, beberapa kelompok atau individu secara umum mulai menetapkan suatu target kredibilitas tertentu dalam perhatian mereka serta mencari dukungan dari para pembentuk opini yang dapat terlibat pada tingkatan tertentu dalam masalah tersebut. Pada poin ini, umumnya mereka yang terlibat merasa sedikit sulit mengenali bahwa sebuah konflik mungkin timbul.


TAHAP 2 – Mediasi dan Penguatan Suara: Issue yang Muncul ke Permukaan

  • Ketika beberapa kelompok muncul dan garis telah tergambar, suatu proses mediasi dan penguatan suara hadir di antara para individu dan kelompok yang mungkin memiliki pandangan sama dan mungkin diharapkan untuk bereaksi dalam cara yang sama. Awalnya, hal ini terjadi di dalam media spesialis yang relevan dari kelompok-kelompok yang berkepentingan, industri, profesi dan lainnya dengan opini, nilai atau kepentingan yang dapat diperbandingkan. Ketika momentum terbentuk di dalam media massa, issue berkembang menjadi sebuah issue publik yang dapat menjadi bagian dari proses kebijakan publik.
  • Tahap pemunculan issue ini mengindikasikan peningkatan bertahap pada tingkat tekanan terhadap organisasi tersebut untuk menerima issue. Dalam banyak kasus, peningkatan ini adalah hasil dari kegiatan oleh satu atau beberapa kelompok ketika mereka mulai mendorong atau melegitimasi issue.
  • Pada tahap perkembangan issue ini, masih relatif mudah bagi organisasi untuk ikut campur dan memainkan peranan proaktif dalam pencegahan atau pengeksploitasian perkembangan issue tersebut. Bagaimanapun juga, sulit untuk menentukan apakah issue tersebut penting atau tidak, dan kadang-kadang issue tersebut dibiarkan menguap begitu saja karena manajemen lebih memperhatikan masalah lain yang dianggap lebih penting. Meski sulit untuk mengetahui apakah issue tersebut tak berkembang atau justru meningkat intensitasnya, namun pihak manajemen seharusnya tidak berdiam diri saja.
  • Faktor dominan dalam perkembangan issue dalam fase ini adalah liputan media. Sebelum issue mencapai tahap berikutnya, mereka yang terlibat kadang-kadang mencoba untuk menarik perhatian media sebagai alat untuk mempercepat perkembangan issue. Liputan ini akan menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan sebagai penyebab issue berkembang.
  • Tahap ini sangat penting karena memiliki efek mempercepat perkembangan issue. Karena itu sangat penting bagi perusahaan yang menjadi target untuk melakukan monitor yang reguler dan efektif terhadap lingkungan bisnis, peraturan perundangan dan sosial dalam rangka mengidentifikasi issue tahap 2 serta mulai memformulasikan rencana tindakan untuk mengelola issue tersebut.

 
TAHAP 3 – Organisasi: Issue yang Tengah Berlangsung dan Issue Krisis

  • Mediasi membawa tingkatan beragam terhadap organisasi. Posisi-posisi menguat. Beberapa kelompok mulai mencari resolusi atas konflik tersebut, baik resolusi yang dapat diterima menurut kepentingan mereka atau setidaknya yang dapat meminimalkan kerusakan potensial.
  • Dalam proses kebijakan publik, masyarakat atau para kelompok ini harus dilihat sebagai sesuatu yang dinamis. Seringkali mereka adalah kelompok-kelompok yang terdiri dari para individu dengan tingkat komitmen beragam yang menghadapi suatu problem yang sama, menyadari bahwa problem tersebut hadir dan mereka bersatu dengan beberapa cara untuk melakukan sesuatu terhadap problem tersebut. Kelompok-kelompok ini tidak statis dan tingkat organisasi mereka, pendanaan serta pengetahuan akan medianya sangat beragam. Mereka mungkin adalah jaringan informal yang terdiri dari orang-orang yang berbagi informasi melalui internet dalam mencari resolusi atas suatu konflik, atau mereka bisa sangat terorganisir, saling berhubungan dengan baik, serta didanai oleh suatu komitmen yang intens dan fokus.
  • Ketika kelompok-kelompok ini menggerakkan sudut pandang dan tujuan mereka serta mencari cara mengkomunikasikan posisi mereka, konflik mencapai tingkat yang terlihat oleh publik yang akhirnya mendorong issue tersebut ke dalam proses kebijakan publik. Selanjutnya, perhatian publik yang meningkat memotivasi para pemimpin berpengaruh untuk menjadi bagian dari konflik yang timbul dan tekanan terhadap institusi terkait untuk mencari resolusi atas konflik tersebut pun meningkat.
  • Pada fase “tengah berlangsung”, issue telah berkembang dan menunjukkan potensi penuh terhadap mereka yang terlibat. Menjadi sulit untuk mengubah issue karena ia sudah menjadi permanen dan menyebar dengan intensitas yang meninggi. 
  • Pihak-pihak berbeda yang terlibat menyadari pentingnya issue tersebut dan sebagai respon, menekan institusi peraturan perundangan agar turut terlibat.
  • Seperti yang digambarkan oleh diagram siklus issue, hampir tidak ada waktu ketika issue berubah dari status “tengah berlangsung” menjadi “krisis” untuk mencapai institusi formal seperti otoritas peraturan perundangan yang memiliki kekuasaan untuk ikut campur dan memaksakan batasan terhadap organisasi/industri tersebut sebagai cara untuk meredakan situasi. Contohnya adalah ketika Exxon Corporation di tahun 1989 menumpahkan minyak mentah di perairan dekat California, A.S. sehingga mengakibatkan perubahan kebijakan publik bahwa setiap tanker pengangkut minyak mentah yang melewati laut harus dirancang memiliki dua badan kapal.


TAHAP 4 – Resolusi: Issue Laten

  • Sekali issue mendapatkan perhatian publik secara resmi dan memasuki proses kebijakan, baik melalui perubahan peraturan perundangan atau ketetapan, usaha untuk meredakan konflik menjadi lebih lama serta mahal. Objek dari proses kebijakan publik adalah pemaksaan atas pembatasan yang tidak dikondisikan kepada seluruh pihak terhadap konflik tersebut, baik untuk keuntungan atau untuk kerugian mereka.
  • Jadi sekali issue telah menjalani siklus penuh, ia akan mencapai ketinggian dari tekanan yang memaksa sebuah organisasi untuk menerimanya tanpa persiapan.


Akhirnya, sebuah issue yang dibiarkan saja atau terlambat diidentifikasi sehingga terlanjur berkembang dan mencapai siklus yang penuh akan berubah menjadi krisis.




DAFTAR REFERENSI
Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations & Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997.

Chase, W. Howard. Issue Management: origins of the future. U.S.A.: Issue Actions Publications Inc., 1984.

Crable, R.E., Vibert, S.L., ‘Managing Issues & Influencing Public Policy’, Public relations Review, Summer 1985.

Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations. Terjemahan Dewi Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.

Heath, R.L., Nelson, R.A., Issue Management. Newbury Park: 1986.

Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.

Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.

Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.

White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public Relations Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of Public Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995.

17/11/12

Etika PR - Manfaat Etika dan Etiket



Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral. Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk didalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika (Keraf, 1991 : 23).

Kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis. Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.

Pengertian etiket menurut pendapat ahli yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab. Pendapat lain berkaitan dengan etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.

Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994 Penerbit Gramedia Jakarta, selain ada persamaannya, ada empat perbedaan antara etika dan etiket yaitu secara umumnya sebagai berikut:
  • Etika adalah niatApakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara, untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.
  • Etika adalah nurani (bathiniah). Bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan.
  • Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan  yang salah harus mendapat sanksi.
  • Etiket bersifat relatif, yaitu yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di daerah lainnya.
  • Etika berlakunya tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir. Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka etiket itu tidak berlaku.
Manfaat etika dan etiket dalam PR sebagai landasan dan pedoman dalam melakukan pekerjaan, karena pekerjaan PR yang berhubungan dengan tanggung jawab moral.


Tugas dan Fungsi PR
Untuk mengkaji tentang fungsi PR sebagaimana diutarakan dari berbagai pendapat para ahli PR adalah sebagai berikut :

Betrand and Canfield
Dalam bukunya “Public Relations Principles and Problems” mengemukakan tiga fungsi PR:
  • It should serve the public’s interest - Mengabdi kepada kepentingan publik
  •  Maintain good communication - Memelihara komunikasi yang baik.
  •  And stress good morals and manners - Menitikberatkan pada moral dan tingkah laku yang baik.

Cutlip and Center
Dalam bukunya “Efective Public Relations” tiga fungsi PR:
  • To ascertain and evaluate public opinion as it relates to his organization - Menjamin dan menilai opini publik yang ada dari organisasi.
  • To counsel executives on ways of dealing with public opinion as it exist - memberikan nasihat/penerangan pada manajemen dalam hubungannya dengan opini publik yang ada
  • To use communication to influence public opinion - menggunakan komunikasi dalam rangka mempengaruhi opini publik.


Onong Uchjana Effendy
Dalam bukunya “Hubungan Masyarakat" mengemukakan empat fungsi PR:
  • Menunjang kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan
  • Membina hubungan harmonis antara organisasi dengan publik, baik publik eksternal maupun internal
  • Menciptakan komunikasi dua arah timbal balik dengan menyebarkan informasi dari organisasi kepada publik dan menyalurkan opini publik kepada organisasi
  • Melayani publik dan menasihati pimpinan organisasi demi kepentingan umum.


Berdasarkan tiga pendapat tersebut di atas, secara umum tugas dan fungsi PR adalah sebagai berikut:

Menyampaikan kebijaksanaan manajemen kepada publik. 
Haruslah disadari bahwa keberhasilan suatu organisasi adalah atas dasar kepedulian orang lain dalam hal ini adalah publik yang berhubungan dengan organisasi. Bahwa usaha untuk mendapatkan image yang baik adalah dalam rangka menciptakan publik.
  • Understanding
  • Confidence
  • Support
  • Cooperation
Oleh karena itu agar tujuan untuk dapat mencapai adanya image yang baik maka dalam hal ini PR officer. Berfungsi menyampaikan policy/kebijaksanaan yang berlaku dalam organisasi kepada publik misalnya: mempromosikan suatu produk, kebijaksanaan kenaikan gaji/gaji tidak mengalami kenaikan walaupun harga tetap naik.

Sebagai marketing departemen organisasi, seorang PR berfungsi menjual organisasi. Dengan istilah lain PR berfungsi menjual citra yang baik/image yang baik tentang organisasi dengan harapan akan memperoleh bayaran berupa citra/image/good will.

Tujuan kebijaksanaan disampaikan kepada publik dimaksudkan adalah selain publik dapat mengetahui kebijaksanaan manajemen organisasi juga agar publik-publik tersebut dapat menyesuaikan diri dengan apa yang tercakup dalam kebijaksanaan tersebut. Dengan demikian seorang PR officer haruslah seorang yang cepat tanggap dalam menjalankan fungsinya khususnya dalam menyampaikan kebijaksanaan manajemen pada publiknya harus secara cepat diberitahukan/disampaikan.

Menyampaikan opini publik pada manajemen
Seorang PR officer haruslah cepat tanggap terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dalam organisasinya. Untuk itu kewajiban yang utama dari seorang PR officer  dalam menjalankan fungsinya adalah merekam pendapat yang dikemukakan oleh publik yang berkepentingan terhadap organisasi, baik itu pendapat yang positif maupun pendapat yang negatif.

Selanjutnya seorang PR officer harus juga dapat mengevaluasi opini publik yang diterimanya tersebut yang kemudian menginformasikannya/menyampaikannya kepada manajemen tentang opini publik tersebut.

Seorang PR harus memperhatikan bahwa pendapat/opini publik haruslah berdasarkan fakta-fakta yang ada dengan tidak dicampuri dengan pendapat seorang PR itu sendiri. Walaupun dalam kenyataannya fungsi ini lebih sulit prosesnya dibandingkan dengan fungsi menyampaikan kebijaksanaan, karena biasanya komunikasi yang disampaikan oleh bawahan ke atasan itu sangat kompleks, apalagi jika yang dihadapi adalah seorang pemimpin yang keras, yang hanya membawa kemauannya sendiri saja tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain, tetapi jika komunikasi dapat berjalan lancar maka fungsi seorang PR dapat dilaksanakan dengan baik.

Ruang lingkup kegiatan PR
Tujuan umum dari program kerja dan berbagai kegiatan PR adalah cara menciptakan hubungan harmonis antara organisasi/perusahaan yang diwakilinya dengan publiknya atau stakeholder. Hasil yang diinginkan yaitu terciptanya citra positif (good image), kemauan baik (good will), saling menghargai (mutual appreciation), saling timbul pengertian (mutual understanding), toleransi (tolerance) antara kedua belah pihak.

Tujuan dari proses perencanaan kerja adalah untuk mengelola berbagai aktivitas humas tersebut dapat diwujudkan jika terorganisasi dengan baik melalui manajemen  yang dikelola secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

Program kerja PR dilaksanakan melalui berbagai kegiatan yang diantaranya adalah:
  • Special event
  • Social marketing public relations
  • Marketing public relations
  • Press and media relationship
  • Business communication public relations
  • Advertising public relations
  • Crisis management and complaint handling public relations
  • Public relations writing
  • Public relations campaign


Kegiatan PR tersebut bukanlah pekerjaan yang sangat mudah, akan tetapi harus dikelola secara profesional dan serius serta penuh konsentrasi, karena berkaitan dengan kemampuan PR dalam manajemen teknis dan sebagai keterampilan manajerial agar dapat mencapai tujuan atau sasaran sesuai dengan rencana yang diharapkan. Aktivitas praktisi humas mencakup sebagai:
  • Konseptor
  • Penasihat
  • Komunikator
Scott Cutlip & Allen H. Center (printice-hall inc, 1982:139) menyatakan bahwa proses perencanaan program kerja melalui “proses empat tahapan, atau langkah-langkah pokok yang menjadi landasan acuan untuk pelaksanaan program kerja kehumasan adalah sebagai berikut:

Meneliti dengan mendengarkan (research listening). Penelitian yang dilakukan berkaitan dengan opini, sikap dan reaksi dari mereka yang berkepentingan dengan aksi dan kebijaksanaan-kebijaksanaan suatu organisasi. setelah itu baru dilakukan pengevaluasian fakta-fakta, dan informasi yang masuk untuk menentukan keputusan berikutnya. Pada tahap ini akan ditetapkan suatu faktor dan informasi yang berkaitan langsung dengan kepentingan organisasi yaitu: what’s our problem (apa yang menjadi problem kita).

Merencanakan pengambilan keputusan (planning decision). Sikap, opini, ide-ide dan reaksi yang berkaitan dengan kebijaksanaan serta penetapan program kerja organisasi yang sejalan dengan kepentingan atau keinginan-keinginan, pihak  yang berkepentingan mulai diberikan: here’s what we can do ? (apa yang dapat kita kerjakan)

Mengkomunikasikan pelaksanaan (communication action). Informasi yang berkenaan dengan langkah-langkah yang akan dilakukan dijelaskan sehingga mampu menimbulkan kesan-kesan yang secara efektif dapat mempengaruhi pihak-pihak yang dianggap penting dan berpotensi untuk memberikan dukungan sepenuhnya. Here’s what we did and why (apa yang telah kita lakukan dan mengapa begitu)

Mengevaluasi (evaluation)
PR mengadakan penilaian terhadap hasil-hasil program-program kerja atau aktivitas PR yang telah dilaksanakan. Termasuk mengevaluasi keefektivitasan dari teknik-teknik manajemen dan komunikasi yang telah dipergunakan. How did we do? (bagaimana yang telah kita lakukan?)

Langkah-langkah kegiatan public relations adalah:

  • Menganalisis perilaku umum dan hubungan organisasi terhadap lingkungan
  • Menentukan dan memahami secara benar perilaku tiap-tiap kelompok terhadap organisasi
  • Menganalisis tingkat opini publik, baik yang internal maupun yang eksternal
  • Mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan, masalah-masalah yang potensial, kebutuhan-kebutuhan dan kesempatan-kesempatan
  • Menentukan formulasi dan merumuskan kebijakan-kebijakan.
  • Merencanakan alat atau cara yang sesuai untuk meningkatkan atau mengubah perilaku kelompok masyarakat sasaran
  • Menjalankan dan melaksanakan aktivitas-aktivitas sesuai dengan program yang telah direncanakan
  • Menerima umpan balik untuk dievaluasi kemudian mengadakan penyesuaian-penyesuaian diperlukan.
Konsekuensi dari proses perencanaan kerja public relations adalah tuntutan terhadap kemampuan yang tinggi dari para praktisi PR=. Untuk dapat berperan ganda dalam menjalankan tugasnya. Suatu saat apabila pimpinan ingin mengetahui secara pasti mengenai reaksi publik terhadap salah satu kebijaksanaan organisasinya, PR harus bisa mengemukakan fakta-fakta yang diperlukan. Jika menghadiri pertemuan dengan staf bagian pemasaran dan periklanan yang membahas rencana perkenalan produk baru, maka PR harus siap untuk memberikan sumbang saran dan mengajukan proposal program PR yang tepat untuk menunjang usaha tersebut.

Ciri-ciri profesi PR adalah
  1. Memiliki skill atau kemampuan
  2. Mempunyai kode etik
  3. Mempunyai tanggung jawab profesi
  4. Memiliki jiwa pengabdian kepada publik
  5. Otonomisasi organisasi profesional
  6. Menjadi anggota organisasi profesi.

Ciri-ciri profesi

Menurut James J. Spillance (Susanto, 1992:41-48) dan artikel international encyclopedia of education adalah :
  1. Suatu bidang yang terorganisir dengan baik, berkembang maju dan memiliki kemampuan intelektualitas yang tinggi
  2. Teknik dan proses intelektual
  3. Penerapan praktis dan teknis intelektual
  4. Menjadi anggota asosiasi atau organisasi profesi tertentu sebagai wadah komunikasi, membina hubungan baik dan saling tukar menukar informasi sesama para anggota
  5. Melalui periode panjang menjalani pendidikan, latihan dan sertifikasi
  6. Memperoleh pengakuan terhadap profesi yang dimilikinya
  7. Sebagai profesional memiliki perilaku yang baik dalam melaksanakan profesi dan penuh dengan tanggung jawab sesuai dengan kode etik.

Prinsip-prinsip etika profesi (Keraf, 1993 : 49-50)
Prinsip-prinsip PR profesional adalah:

Tanggung jawab
Seorang PR harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap profesi, hasil dan dampak yang tampak yaitu:
  • Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan atau fungsinya artinya keputusan yang diambil dan hasil dari pekerjaan tersebut harus baik serta dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan pada standar profesi. 
  • Tanggung jawab terhadap dampak atau akibat dari tindakan serta pelaksanaan profesi tersebut terhadap dirinya, rekan kerja dan profesi, organisasi/perusahaan dan masyarakat umum, serta keputusan atau hasil pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat dan berguna yang baik bagi dirinya atau pihak lain. Prinsip sebagai profesional harus berbuat yang baik dan tidak untuk berbuat sesuatu yang merugikan.
Ketidakterikatan (kebebasan) Para profesional memiliki ketidakterikatan atau keberpihakan dalam menjalankan profesinya tanpa merasa khawatir atau ragu-ragu, tetapi memiliki komitmen dan bertanggung jawab dalam batas-batas aturan main yang telah ditentukan oleh kode etik sebagai standard perilaku profesional.

Kejujuran
Jujur dan setia serta merasa terhormat pada profesi yang dimilikinya, mengakui akan kelemahannya dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman.

Keadilan
Dalam menjalankan profesinya maka setiap profesional memiliki kewajiban dan tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap hak atau mengganggu milik orang lain, lembaga atau organisasi, hingga mencemarkan nama baik bangsa dan negara. Selain itu harus menghargai hak-hak, menjaga kehormatan nama baik, martabat dan milik bagi pihak lain agar tercipta saling menghormati dan keadilan secara obyek dalam kehidupan masyarakat.

Otonomi
Seorang profesional memiliki kebebasan secara otonomi dalam menjalankan profesinya sesuai dengan keahlian, pengetahuan dan kemampuannya, organisasi dan departemen yang dipimpinnya melakukan kegiatan operasional atau kerjasama yang terbebas dari campur tangan pihak lain. Apapun yang dilakukannya itu adalah merupakan konsekuensi dari tangggung jawab profesi, kebebasan otonom merupakan hak dan kewajiban yang dimiliki bagi setiap profesional.


DAFTAR PUSTAKA
Bertens. K. 1997, Etika, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Canfield Bertrand R, 1964, Public Relations Principles, Cases and Problem Fourth Edition, Richard D. Irwin, Inc. Home, Illinois.
Cutlip, Scott M. Allen H. Center, 1982, Effective Public Relations, Revise 5th Edition, Prentice Hall, Inc. Engle Wood Clips, New Jersey.
Effendy, Onong Uchjana, 1993, Human Relations dan Public Relations, Cetakan VIII, Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Ruslan Rosady, 2002, Etika Kehumasan Konsepsi & Aplikasi, PT. Raja Grafindo Jakarta.
Yulianita Neni, 2005, Dasar-dasar Public Relations, Pusat Penerbitan Universitas (P2U) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Islam Bandung (LPPM UNISBA).

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...