22/01/13

Pengelolaan Hubungan dengan Stakeholder 1


Pada saat krisis menyerang perusahaan/organisasi, pengelolaan hubungan dengan para stakeholder memegang peranan yang sangat penting. Kesalahan dalam mengelola hubungan dengan mereka pada saat krisis akan berakibat buruk pada perusahaan/organisasi. Parahnya suatu krisis yang menyerang perusahaan/organisasi tidak ditentukan oleh masalah itu sendiri tetapi oleh para stakeholder yang terkena dampak serta bagaimana mereka bereaksi sebagai hasil dari apa yang terjadi.

Tidak ada cara menilai seberapa baik sebuah organisasi berhasil mengatasi krisis. Pada akhirnya, penilaian tersebut hanyalah persepsi dan opini saja yang didasarkan pada seberapa efektif perusahaan/organisasi berkomunikasi dengan para stakeholder-nya pertama kali hingga masalah yang menimpa perusahaan/organisasi benar-benar terpecahkan.


Pengertian Stakeholder
Rhenald Kasali: Stakeholders adalah kelompok-kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan/organisasi yang mempunyai peranan dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Mereka juga adalah pihak-pihak yang menjadi khalayak sasaran kegiatan PR. Istilah publik dalam PR merupakan khalayak sasaran dari kegiatan PR tersebut. Publik ini merupakan kumpulan dari orang-orang atau pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan.

Frank Jefkins: Khalayak (public) adalah kelompok atau orang-orang yang berkomunikasi dengan suatu organisasi, baik secara internal maupun eksternal.

IPR: istilah khalayak sengaja dituangkan dalam istilah bermakna majemuk, yakni publics, dikarenakan kegiatan-kegiatan PR tidak diarahkan kepada khalayak dalam pengertian yang seluas-luasnya (masyarakat umum). Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan PR tersebut diarahkan kepada khalayak terbatas atau pihak-pihak tertentu yang berbeda-beda, dan masing-masing dengan cara yang berlainan pula

Khalayak/publik perlu ditetapkan dalam suatu program PR agar seluruh kegiatan yang dikerjakan praktisi PR lebih terarah, terutama pesan-pesan yang akan disampaikannya agar menjadi lebih efektif. Penyebaran suatu pesan PR tidak dilakukan secara merata ke semua orang seperti halnya pesan-pesan iklan melalui media massa. PR bersifat diskriminatif dalam memilih khalayak.

Setiap perusahaan/organisasi memiliki sendiri khalayak khususnya. Kepada khalayak yang terbatas itulah perusahaan/organisasi selalu menjalin komunikasi, baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu, khalayak atau publik perusahaan/organisasi pun dibedakan menjadi Publik Internal dan Publik Eksternal. 

1. Publik Internal
Publik internal adalah publik yang berada di dalam lingkup perusahaan/organisasi. Mereka terdiri dari:
  1. Perusahaan Induk/Prinsipal (bila ada)
  2. Anak Perusahaan/Perusahaan Cabang/Sister Company
  3. Para Investor
  4. Para Pemegang Saham
  5. Dewan Direksi/Komisaris
  6. Para Karyawan Perusahaan yang sudah ada
  7. Serikat Pekerja/SPSI (terutama perwakilan yang ada dalam perusahaan/organisasi)
  8. Keluarga dari para karyawan/anggota organisasi 
  9. Calon Karyawan perusahaan/anggota organisasi

2. Publik Eksternal
Publik eksternal adalah mereka yang berada di luar perusahaan/organisasi namun berkepentingan terhadap perusahaan/organisasi. Mereka adalah:
  1. Pelanggan/Konsumen/Pengguna produk & jasa perusahaan/organisasi 
  2. Media Massa (pers cetak, radio, televisi, internet)
  3. Mitra Usaha/Pemasok jasa dan berbagai macam barang (supplier)
  4. Para Distributor
  5. Pemerintah
  6. Masyarakat sekitar perusahaan/organisasi (Komunitas)
  7. Masyarakat Keuangan/Perbankan
  8. Retailer
  9. Kelompok Penekan (Pressure Groups)
  10. Para Pembentuk Opini (Opinion Leaders)
  11. Calon Pelanggan/Konsumen Potensial
  12. Pesaing/Kompetitor/Asosiasi perusahaan-perusahaan sejenis
  13. Organisasi Perburuhan (di luar Serikat Pekerja yang berada di dalam perusahaan/organisasi)
  14. Masyarakat Umum


Mengenali Khalayak Sasaran
Dalam menjalankan program komunikasi krisis, pertama-tama perusahaan/organisasi perlu mempertimbangkan publik atau khalayak sasaran, karena itu perusahaan/organisasi perlu mengenal siapa yang menjadi publik atau stakeholder-nya.

Fearn-Banks membagi publik ke dalam empat kategori:
  • Enabling public, yakni publik yang punya kekuasaan untuk memutuskan suatu persoalan. Termasuk di dalamnya antara lain Dewan Direktur, pemegang saham, komisaris perusahaan dan pemerintah.
  • Functional public, yakni kelompok orang yang menjadikan sebuah organisasi dapat berputar. Termasuk di dalamnya antara lain para karyawan, konsumen, dan lain-lain.
  • Normative public, yakni kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama dengan organisasi/perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah para anggota asosiasi atau perkumpulan perusahaan-perusahaan sejenis.
  • Diffused public, yakni kelompok orang yang secara tidak langsung berhubungan dengan organisasi/perusahaan dalam suatu krisis. Yang tergolong dalam kategori ini antara lain media dan kelompok-kelompok komunitas.

Di samping kategori-kategori yang bersifat umum, dalam mengenali publik, Laurence Barton menekankan pentingnya pengenalan publik secara lebih mendetil berkaitan misalnya dengan lokasi tempat tinggal publik, bagaimana perusahaan dapat mencapai mereka, cara berkomunikasi mana yang paling efektif untuk berkomunikasi dengan publik dan bagaimana komposisi demografi dari publik.

Walaupun publik secara garis besar sudah dikenali, penting untuk disadari bahwa akan ada kelompok-kelompok yang tidak dengan mudah dapat diidentifikasi sebagai publik. Sturges dkk. berpendapat, dalam situasi krisis penekanan komunikasi sering ditujukan kepada kelompok-kelompok yang terkena akibat suatu krisis yang memang sudah teridentifikasi sebelumnya. Di samping itu, ada kelompok yang sering tidak teridentifikasi sebagai publik langsung, tetapi ketika krisis terjadi mereka berubah menjadi korban yang paling layak mendapat perhatian. Kasus melelehnya pabrik kimia Union Carbide di Bhopal, India menjadi sebuah contoh munculnya kelompok yang tak teridentifikasi sebagai publik, yang kemudian menjadi penuntut gigih terhadap Union Carbide. Mereka adalah penduduk miskin yang bermigrasi ke dekat lokasi perusahaan dan kemudian menjadi korban yang paling merasakan lelehan gas kimia Union Carbide. Seperti yang dikatakan oleh Shrivastava, dalam suatu krisis para korban merupakan stakeholder baru bagi perusahaan yang sering dilupakan, walaupun mereka mungkin paling merasakan akibat suatu krisis. Dalam kasus likuidasi bank, para karyawan dan nasabah, tampaknya kurang mendapat perhatian yang memadai.

Pada dasarnya, masing-masing publik punya kepentingan yang berbeda-beda. Inilah yang menyebabkan sebuah krisis ditandai oleh adanya konflik kepentingan di antara stakeholder perusahaan. Namun demikian, penting juga disadari bahwa dalam beberapa hal orang sebagai anggota publik dapat menjadi anggota berbagai publik. Sebuah perusahaan/organisasi memang harus dapat melayani kepentingan berbagai pihak, seperti para pemegang saham (apalagi perusahaan yang sudah go public), para karyawan, konsumen, dll. Harus diingat, sejumlah orang mungkin menjadi pemegang saham, karyawan dan konsumen sekaligus. Sehingga perlu disadari bahwa pesan yang disampaikan kepada publik yang berbeda-beda tidak mengandung pertentangan yang dapat memperkeruh suasana. Dalam suatu krisis, pengumuman yang akan dibuat perusahaan bisa jadi secara tidak disadari menguntungkan publik tertentu, seperti pemegang saham, sementara merugikan publik lain, misalnya para korban. Jika pengumuman yang dibuat sebuah perusahaan tentang kebijakannya lebih mementingkan korban dengan memberikan santunan kepada korban dan tentunya bagi pemegang saham kebijakan seperti ini dapat dianggap mengorbankan kepentingannya, sehingga mungkin kemudian para pemegang saham akan menjual saham mereka.

Pada dasarnya, seluruh unsur yang terdapat dalam stakeholder internal dan eksternal perusahaan merupakan publik atau khalayak sasaran yang penting dari program komunikasi krisis perusahaan. Stakeholder kunci suatu organisasi/perusahaan bervariasi tergantung dari karakter/jenis organisasi/perusahaan tersebut serta krisis itu sendiri. Dengan kata lain, krisis yang berbeda akan menghasilkan stakeholder kunci yang berbeda pula.

Para praktisi PR di Amerika Serikat dan Kanada cenderung berpikir bahwa krisis adalah pemberitaan negatif di media massa, sehingga menghasilkan pertimbangan bahwa organisasi pemberitaan (media) merupakan kelompok stakeholder utama. Hal ini salah besar.

Kelompok stakeholder yang terkena dampak krisis butuh diprioritaskan karena pentingnya mereka terhadap masa depan organisasi/perusahaan. Kecuali jika bencana tersebut mengakibatkan kerusakan properti dan atau menimbulkan korban jiwa, media pemberitaan seharusnya menjadi pertimbangan sekunder.

Pertanyaan yang perlu muncul pada situasi krisis yang menyerang tiba-tiba atau situasi krisis yang telah diprediksi sebelumnya adalah:
  1. Kelompok stakeholder mana selain media massa yang akan tertarik atau terkena dampak oleh masalah yang sedang terjadi, serta yang paling penting terhadap kelangsungan bisnis dan pertumbuhan masa depan perusahaan/organisasi?
  2. Siapa saja stakeholder kunci dalam tiap kelompok merupakan 20% yang bertanggungjawab untuk menghasilkan 80% yang dibutuhkan bisnis untuk tetap berjalan?

Rencana kelangsungan bisnis perusahaan/organisasi membutuhkan strategi untuk mencapai orang-orang kunci ini dengan informasi tentang situasi krisis sebelum mereka mendengarnya melalui media ataupun orang lain. Dengan demikian, organisasi/perusahaan akan mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan cerita dari sisinya pertama kali. 

Kelompok stakeholder kunci yang menduduki tingkat atas dalam daftar adalah para karyawan, para investor & pemegang saham (publik internal), konsumen, pemerintah dan komunitas (publik eksternal).




PENGELOLAAN HUBUNGAN DENGAN KARYAWAN
Hubungan dengan karyawan
Yang dimaksud dengan karyawan adalah orang-orang dalam perusahaan yang tidak memegang jabatan struktural dan program komunikasi yang ditujukan kepada mereka disebut komunikasi internal. Suatu perusahaan/organisasi harus menyelenggarakan komunikasi internal yang baik, karena komunikasi internal bukan hanya memperlancar kegiatan saja tapi justru yang menggerakkan perusahaan/organisasi tersebut.

Komunikasi yang baik antara pihak manajemen dengan para karyawannya akan dapat memperbesar kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran perusahaan/organisasi. Seorang manajer PR yang bertugas membantu manajemen perusahaan/organisasi dalam menyelenggarakan komunikasi internal yang baik harus menguasai masalah dasar perusahaan/organisasi dan teknik-teknik komunikasi. Ia juga harus merumuskan dengan tepat program PR internalnya untuk jangka pendek maupun panjang dari sudut pandang yang luas. Tugas ini menjadikan PR berhubungan dengan hampir setiap anggota organisasinya.

Yang perlu diketahui oleh seorang PR bahwa dalam perusahaan/organisasi, komunikasi berlangsung secara vertikal, horizontal dan diagonal.

Komunikasi Vertikal
Vertical Communication merupakan komunikasi yang dilakukan oleh pegawai bawahan kepada atasan maupun sebaliknya, pegawai atasan kepada bawahan. Komunikasi vertikal ke atas (vertical upward communication) baik melalui telepon maupun surat, bersifat resmi dan sungguh-sungguh. Dan pesan-pesan yang dikomunikasikan umumnya bersifat informatif. Sedangkan komunikasi vertikal ke bawah (vertical downward communication), pesan-pesannya lebih bersifat instruktif di samping bernada resmi dan sungguh-sungguh. 

Komunikasi Horizontal
Horizontal Communication adalah komunikasi antara seorang pegawai dengan pegawai lain yang sama kedudukannya, misalnya antara seorang kepala bagian dengan kepala bagian lainnya, contohnya antara seorang manajer produksi dengan manajer pemasaran. Dalam situasi seperti itu, meskipun dalam situasi kerja, komunikasi dapat berlangsung lancar. Misalnya dalam percakapan telepon, tampak adanya keakraban yang tidak jarang diselingi tawa karena kedua orang yang sedang berkomunikasi itu saling mengenal dan memiliki kedudukan yang setara.

Komunikasi Diagonal
Diagonal Communication atau komunikasi silang ialah komunikasi yang berlangsung antara seorang pegawai dari sebuah departemen dengan pegawai dari departemen lainnya dalam kedudukan yang berbeda, dalam arti yang satu lebih tinggi daripada yang lainnya, misalnya percakapan antara manajer pemasaran kepada supervisor produksi. Situasi komunikasi pada jalur ini umumnya tidak leluasa seperti pada jalur horizontal, tetapi juga tidak kaku seperti pada jalur vertikal.


Alasan praktisi PR perlu menangani karyawan:
  1. Meskipun kedudukan karyawan dalam pengambilan keputusan tidak besar, tetapi jumlah mereka adalah yang paling banyak di dalam perusahaan. Karena secara struktural lemah, para karyawan cenderung membentuk kelompok informal untuk membela kepentingan mereka. Persatuan kuat di antara mereka dapat membahayakan manajemen jika mereka tidak mendapatkan perhatian yang layak. Namun bila mereka diperhatikan dengan baik, maka persatuan mereka justru akan dapat membantu manajemen saat diperlukan ataupun pada situasi krisis, misalnya.
  2. Seperti pernah dibahas sebelumnya, rumor sangat mudah beredar di antara karyawan bila saluran komunikasi yang semestinya ditutup. Terutama rumor mengenai masalah gaji, tunjangan, kenaikan jabatan ataupun PHK. Karena itu, saluran komunikasi resmi seharusnya juga memuat informasi yang dibutuhkan mereka agar mereka tidak mencarinya melalui grapevine.
  3. Karyawan adalah ujung tombak perusahaan, terutama perusahaan jasa. Hanya dengan memberikan perhatian yang baik, perusahaan akan dapat memperbaiki pelayanannya.
  4. Di negara-negara berkembang, karyawan merupakan sumber suara potensial dalam pemilihan umum, sehingga pemerintah yang sedang berkuasa sering membela kepentingan mereka. Contohnya menaikkan standar upah minimum, peningkatan fasilitas kerja, dan sebagainya.
  5. Pers umumnya sangat bersimpati pada karyawan yang hak-haknya dilanggar oleh pihak manajemen. Peristiwa PHK yang tidak adil dapat merusak citra perusahaan bila diangkat oleh pers dan menjadi berita utama.

Melihat hal-hal di atas, sangat jelas bahwa karyawan merupakan suatu kekuatan dalam perusahaan yang perlu mendapatkan perhatian lebih.


Pengelolaan hubungan dengan karyawan pada saat krisis
Pada saat krisis menyerang perusahaan/organisasi, sangatlah vital untuk terus memberikan informasi kepada seluruh karyawan tentang situasi dan perkembangannya. Jangan sampai mereka mengetahui berita mengenai krisis yang menimpa perusahaan/organisasi mereka melalui media, seperti yang sering terjadi akibat pihak manajemen menutup-nutupi peristiwa yang sebenarnya terjadi. Para karyawan merupakan duta organisasi/ perusahaan dan mereka harus diposisikan untuk menjelaskan kepada para konsumen/ pelanggan, keluarga dan teman-teman mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi pada perusahaan/organisasi mereka.

Dalam menghadapi karyawan, departemen PR dapat meminta dukungan dari departemen Personalia karena mereka yang lebih mengetahui teknis hukum kepegawaian.
Para karyawan ini seharusnya memiliki akses terhadap pernyataan-pernyataan perusahaan kepada pers sebelum pernyataan-pernyataan tersebut dikeluarkan. Jika memungkinkan, briefing harus dilakukan untuk memberikan kesempatan mereka untuk bertanya. Alternatif lainnya, mereka dapat terus diberi informasi melalui e-mail (intranet), surat dari manajemen senior, buletin (newsletter) yang dicetak atau majalah dinding. Dengan karyawan, penting untuk mendapatkan kesadaran mereka bahwa masalah yang sedang menimpa perusahaan/organisasi juga menjadi masalah mereka, karena bila terjadi sesuatu dengan perusahaan, mereka juga yang akan terkena dampaknya.

Perusahaan/organisasi harus jujur dan terbuka tentang keputusan-keputusan yang sudah diambil untuk memecahkan masalah serta berbagi rencana “pemulihan” dengan para karyawan. Dan jangan lupa untuk terus memberitahukan perkembangan situasi secara teratur (Regester & Larkin, 2003:198).

Juga harus ada kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan/organisasi yang menjelaskan bagaimana peran karyawan untuk menjelaskan tentang situasi krisis kepada media. Sangat tidak mungkin dan salah jika perusahaan/organisasi mencoba untuk mengekang para karyawan, tetapi setidaknya mereka diharapkan dapat mengetahui apa yang diharapkan dari mereka jika mereka sadar akan kebijakan perusahaan.

Contoh pengumuman kebijakan  
“Jika kalian didekati oleh seorang anggota pers untuk berkomentar tentang aspek-aspek kegiatan perusahaan, tolong katakan bahwa kalian bukanlah orang yang tepat untuk membantu permintaan mereka dan para wartawan seharusnya mengkontak kantor pers di Crisis Center perusahaan.”

Bila peristiwa krisis yang terjadi di perusahaan melibatkan karyawan sebagai korbannya, yang harus diperhatikan perusahaan adalah bagaimana memberikan informasi kepada keluarga karyawan tersebut karena hal ini sering terlupakan dalam manajemen komunikasi krisis.

Perusahaan-perusahaan yang sangat rawan terhadap peristiwa krisis seperti perusahaan konstruksi, pertambangan, transportasi hingga perusahaan-perusahaan yang memiliki pabrik sebaiknya meminta karyawannya mengisi form tentang siapa dari keluarga karyawan yang harus dihubungi perusahaan jika sampai terjadi kecelakaan terhadap karyawan tersebut. Dan data ini harus terus diperbaharui mengingat situasi keluarga karyawan pasti mengalami perubahan sehingga perusahaan tidak salah alamat dalam pemberitahuan kepada keluarga para karyawannya (Regester & Larkin, 2003:194).

Contoh kekacauan akibat tidak adanya data keluarga karyawan pernah dialami oleh Occidental Oil dalam tragedi Piper Alpha di Aberdeen ketika para karyawannya yang bekerja di lepas pantai mengalami musibah. Perusahaan tersebut tidak memiliki data yang akurat tentang siapa keluarga karyawan yang harus pergi ke Aberdeen. Ternyata beberapa di antara karyawan yang bekerja di lepas pantai tersebut memiliki istri lebih dari satu orang, sehingga dapat dibayangkan kekacauan yang terjadi ketika mereka berkumpul di satu tempat.   

Pertanyaan yang akan diajukan oleh keluarga karyawan tidak akan terlalu jauh berbeda dari contoh-contoh yang diberikan berikut ini, sehingga perusahaan dapat mempersiapkan jawabannya jika terjadi kecelakaan pada karyawan perusahaannya:
  1. Apakah suami/istri/orang tua/anak kami ada di lokasi kejadian ketika kecelakaan terjadi?
  2. Kalau ya, apakah ia selamat?
  3. Jika dia terluka, di manakah dia sekarang dan kapan kami bisa berbicara kepadanya/menjenguknya?
  4. Jika dia memang terluka, seberapa parahkah lukanya dan sekarang dirawat di mana?
  5. Apakah perusahaan akan membantu kami mendatangi lokasi kejadian/tempat keluarga kami dirawat?
Jika yang terjadi adalah hal yang terburuk, yaitu kematian karyawan perusahaan, informasinya jangan pernah disampaikan melalui telepon. Seorang wakil senior dari perusahaan harus mendatangi keluarga karyawan, mungkin dengan ditemani oleh pihak yang berwenang seperti polisi atau wakil dari rumah sakit, untuk memberitahukan berita duka tersebut langsung kepada keluarga karyawan yang bersangkutan.





Pengelolaan Hubungan dengan Investor dan Pemegang Saham
Para investor dan pemegang saham merupakan publik internal. Namun yang disebut sebagai investor bukan hanya para individu yang membeli surat-surat berharga saja, tetapi juga para analis investasi (yang memberi nasihat dan petunjuk untuk membeli atau tidak membeli surat berharga tertentu) dan pembeli partai besar yang merupakan suatu lembaga atau badan usaha (perusahaan yang khusus bergerak dalam usaha jual beli surat-surat berharga di bursa), yakni antara lain Yayasan Dana Pensiun, perbankan, perusahaan asuransi dan lembaga trust (Jefkins, 2003:83-84).

Di kebanyakan negara yang baru memulai pembangunan industrinya, pemegang saham memiliki kekuasaan yang sangat besar terutama bila perusahaan tersebut belum go public. Namun bila perusahaan tersebut sudah go public dan tidak ada lagi konsentrasi kepemilikan saham pada pihak tertentu, manajemen akan dapat lebih berkuasa (Kasali, 2003:66-67).

Seorang praktisi PR perlu merencanakan dan menjalankan program komunikasi keuangan untuk menjalin hubungan yang baik dengan para investor & pemegang saham serta menjaga kepercayaan mereka terhadap perusahaan.

Program komunikasi keuangan biasanya bertolak dari ‘kalender keuangan’, yakni (Beard, 2004:11; Effendy, 2002:110-111):
  1. Produksi laporan dan catatan keuangan perusahaan
  2. Pengumuman hasil periode awal dan pertengahan masa kerja
  3. Dokumen-dokumen untuk pertemuan dengan para pialang dan pemegang saham
  4. Pengorganisasian pertemuan tahunan dan kegiatan lain yang berhubungan dengannya.
  5. Pertemuan berupa tatap muka dengan para investor dan perjalanan keliling para pemegang saham perorangan 
  6. Presentasi kepada para kreditor dan pihak media
  7. Majalah/buletin perusahaan untuk publik eksternal
  8. Laporan tahunan yang lebih berisi mengenai kegiatan perusahaan secara umum dan semua aspek dalam kehidupan perusahaan (bukan laporan keuangan)
Jika suatu perusahaan gagal memberi informasi yang baik dan teratur kepada para investor & pemegang saham sehingga hubungannya menjadi tidak harmonis, maka harga sahamnya bisa merosot tajam yang pada akhirnya akan mengancam kelangsungan perusahaan tersebut.



Pengelolaan hubungan dengan para investor & pemegang saham pada saat krisis
Para investor & pemegang saham adalah stakeholder internal yang sangat penting setelah karyawan. Kesalahan dalam mengelola hubungan dengan para investor & pemegang saham pada saat krisis menyerang perusahaan bisa berakibat fatal. Mereka menjadi kehilangan kepercayaan pada perusahaan dan menjual saham/melepas investasi mereka, sehingga harga saham perusahaan jatuh dan mudah diakuisisi oleh perusahaan lain yang jauh lebih kuat.

Untuk memberitahukan situasi krisis, perusahaan dapat mengadakan pertemuan secara periodik dan menyiapkan berbagai data tertulis yang memberitahukan perkembangan perusahaan dalam mengatasi krisis, terutama adalah masalah keuangan perusahaan. Dalam hal ini, departemen PR sebaiknya bekerja sama dengan Corporate Secretary yang lebih paham mengenai seluk beluk saham, terutama jika perusahaan sudah go public.

Jika pertemuan secara periodik sulit dilakukan, mereka tetap harus diberi informasi mengenai perkembangan perusahaan mengatasi krisis melalui laporan yang teratur, bisa melalui e-mail, surat tertulis dari manajemen perusahaan ataupun buletin (newsletter).
Selain itu, dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), masalah krisis yang telah terjadi harus dilaporkan dan dibicarakan dengan para investor & pemegang saham karena sangat berbahaya apabila mereka mendapatkan informasi tersebut dari pihak lain, seperti dari jurnalis keuangan misalnya.

Bila krisis yang terjadi adalah akibat penawaran yang tidak diinginkan dari perusahaan lain untuk mengakuisisi perusahaan kita atau disebut dengan hostile takeover, langkah awal kita adalah membagi kategori para pemegang saham ini berdasarkan ukurannya, yaitu apakah mereka perorangan, institusi atau calon pembeli saham. Kemudian juga dibagi kategorinya berdasarkan area geografis serta rata-rata lamanya mereka menjadi pemegang saham perusahaan. Hak-hak atas hukum untuk menemukan identitas para investor di belakang calon pemegang saham harus diminta dan firma-firma broker yang terlibat dalam transaksi saham yang lebih besar harus terus dimonitor (Regester, 1996:160-161).

Pengetahuan tentang ukuran pemegang saham serta detil tipe-tipe mereka akan memberikan indikasi yang baik tentang kemana arah pengambilan suara. Penyebaran geografis akan memberikan ide di daerah mana iklan perusahaan akan mengambil perannya. Sedangkan lamanya waktu mereka menjadi pemegang saham perusahaan akan menunjukkan kesetiaan mereka pada perusahaan. Jika misalnya, sebagian besar pemegang saham perusahaan telah menjadi pemegang saham selama lima tahun tetapi harga saham, profit atau pertumbuhan dividen telah jatuh selama masa periode yang sama, kesetiaan pemegang saham bisa dipertanyakan bila mereka mendapat penawaran pembelian saham yang menarik dari pihak yang ingin mengakuisisi perusahaan kita (Regester, 1996:161).

Untuk masalah di atas, perusahaan juga harus mengadakan pertemuan secara periodik dengan para pemegang saham tersebut, baik yang perorangan maupun yang institusi, dan memberikan presentasi yang komprehensif tentang strategi bisnis perusahaan. Selain itu, pertemuan periodik juga dapat dilakukan dengan para pialang saham dan para jurnalis keuangan yang dapat membantu menaikkan citra perusahaan karena para pemegang saham biasanya lebih mempercayai pihak ketiga ini dibandingkan orang dalam perusahaan.

Survey tentang sikap pemegang saham juga dapat dilakukan untuk terus memantau kesetiaan mereka terhadap perusahaan. Selain itu, data kunci tentang seluruh pemegang saham ini harus terus diperbaharui, termasuk data finansial per saham dan ramalan kinerja perjualbelian saham (Regester, 1996:161-162).






DAFTAR REFERENSI
Beard, Mike. Manajemen Departemen Public Relations. Edisi Kedua. Terjemahan Drs. Haris Munandar, M.A. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004.Effendy, Drs. Onong Uchjana. Hubungan Masyarakat: Suatu Studi Komunikologis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Jefkins, Frank disempurnakan oleh Daniel Yadin. Public Relations.  Edisi Kelima.
Terjemahan Haris Munandar, M.A. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.
Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003.
Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1999.
Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. New Delhi: Crest Publishing House, 2003.
Regester, Michael. Crisis Management. Jakarta: Financial PR London School of Public Relations, January 1996.
Artikel-artikel dari internet.

21/01/13

Etika PR - Profesi Etis


Pekerjaan PR merupakan posisi yang sangat penting dan tidak dapat dijabat oleh sembarang orang, karena PR menjalankan fungsi dan tugasnya memikul tanggung jawab yang sangat berat berkaitan dengan masalah etika moral yang luhur.

PR dalam melakukan pekerjaan haruslah mempunyai niat baik dan bersifat netral, tidak berpihak pada salah satu golongan. Beban pekerjaan seorang PR tidaklah sedikit. PR sebagai komunikator harus memilili kredibilitas yang cukup tinggi, sebagaimana diutarakan Austin J. Frelley dalam bukunya Argumentation and debate (1969) yang menjelaskan bahwa seorang PR dalam menjalankan pekerjaan harus memiliki beberapa etos kerja yang diantaranya adalah:

Komponen ethos, bahwa komunikator harus memiliki:
  • Competence (mempunyai kemampuan atau kewenangan)
  • Integrity (memiliki integritas atau kejujuran)
  • Good will (berkemauan baik)


Faktor-faktor pendukung ethos
Sukses atau tidaknya sebagai komunikator akan ditentukan oleh kemampuan dalam mengadakan pilihan yang akan meningkatkan ethosnya di mata komunikannya yaitu memiliki persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

(1) Persiapan (preparation)
Persiapan sebagai komuniktor untuk tampil mutlak diperlukan, mulai dari penguasaan dan persiapan bahan-bahan materi, pesan, informasi dan tema yang hendak disampaikan, serta mempelajari problem/permasalahan yang akan dihadapi dan termasuk mengetahui siapa yang menjadi khalayak sebagai target sasarannya.

(2) Kesungguhan (seriousness)
Komunikator harus menunjukkan keseriusan  yang penuh perhatian, sehingga menimbulkan kepercayaan dimata khalayaknya. Apabila orator ingin menampilkan “humor atau lelucon” hanya dianggap sebagai selingan, dan tidak akan menimbulkan kesan yang bersangkutan sebagai seorang pelawak sedang tampil untuk memberikan hiburan, dan sehingga dapat dinilai tidak serius dimata khalayak.

(3) Ketulusan (sincerity)
Kemampuan dalam membawakan kesan kepada khalayaknya, bahwa adalah seorang yang tulus hatinya, pikiran dan perilakunya. Harus berhati-hati agar dalam penyampaian atau tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan dan atas ketidak tulusannya di mata publiknya “lain yang ditanyakan dan lain pula yang dijawabnya”

(4) Kepercayaan (confidence)
Harus senantiasa memancarkan kepastian atau kepercayaan dimata publiknya, dan tidak boleh teledor dalam berbuat kesalahan atau kecurangan, misalnya dapat menimbulkan suatu penilaian “selain dihati dan lain dimulut”, sehingga terjadi penilaian citra negatif bagi komunikator yang bersangkutan.

(5) Ketenangan (poise)
Khalayak cenderung lebih percaya pada pembicara yang bersikap tenang, meyakinkan, berwibawa dan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam menyampaikan pesan dihadapan khalayak.

(6) Keramahan (friendly)
Komunikasi yang efektif adalah menyampaikan pesan atau berbicara secara komunikatif dan berada sahabat, saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat, serta tidak menampilkan sikap sepihak, melecehkan pihak yang bertentangan atau bersikap arogan yang pokoknya atau menunjukan ”sok pintar atau sok tahu”

(7) Kesederhanaan (moderation)
Penampilan pembicara yang sederhana dan isi pembicaraan yang lebih berbobot serta wajar biasanya lebih menarik, jika dibandingkan dengan penampilan bahasa yang sombong atau “perlente”, penuh dengan istilah-istilah tenis atau akademis (bahasa asing) yang orang lain tidak mengerti akan ucapannya itu dan sehingga menimbulkan antipati bagi pihak khalayaknya.


Faktor-faktor penunjang komunikasi yang komunikatif 
Wilbur Schramm menyatakan pendapatnya the condition of success in communication”, yakni untuk mengetahui bagaimana efek atau dampak dari pesan dalam suatu proses komunikasi, tanggapan oleh pihak khalayaknya, seorang PR sebagai komunikator yang handal perlu mengenali khalayaknya (know your audience). 

Kondisi yang perlu dipenuhi agar suatu pesan membangkitkan tanggapan seperti yang dikehendaki antara lain: 
  1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
  2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang atau arti yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga mudah dimengerti.
  3. Pesan tersebut dapat membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan memberikan saran beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
  4. Pesan dapat menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tersebut yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan itu berada agar dapat digerakkan untuk memberikan tanggapan seperti yang dikehendaki. (Ruslan, 2002, 19-23). 
 
Arti penting etika dalam kegiatan humas
Etika merupakan landasan dasar atau sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan bidang public relations (PR). Seseorang dengan profesi kehumasan dalam melaksanakan harus mengacu pada prosedur yang telah ditentukan baik pihak manajemen perusahaan/organisasi tempat ia bekerja. Profesional PR sebelum menjalankan pekerjaan harus dapat mempelajari segala ketentuan yang diatur secara prosedural apa yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar, apa yang jika diabaikan akan mendapat sanksi moral. 
  
Didalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau kaidah yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap atau bertindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi.
 
Dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan yang dalam kehidupan sehari-hari diatur dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut dengan peraturan hidup. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan dengan aman, tertib dan damai tanpa gangguan, maka diperlukan suatu tatanan yang diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi setiap pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan kata peraturan yang menjadi pedoman dalam bentuk sebagai berikut :
  • Perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik.  
  • Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik 
 
Norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari.
Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukum terhadap siapa yang telah melanggarnya. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi. 

Dalam pergaulan hidup terdapat empat kaidah atau norma, yaitu :
  • Norma agama
  • Norma kesusilaan
  • Norma kesopanan
  • Norma hukum  
 
Dalam pelaksanaan terbagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma tersebut dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah sebagai berikut: 
 
Aspek kehidupan pribadi (individual); (a) Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman; dan (b) Kehidupan kesusilaan, nilai moral dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nurani yang berakhlak berbudi luhur. 
 
Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) (a) Kaidah atau norma-norma sopan santun, tata krama dan etiket dalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat; (b) Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian, dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian dan ketenteraman.  
 
Sedangkan masalah norma non-hukum adalah masalah yang cukup penting dan selanjutnya dapat dipelajari secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi humas/public relations yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.  
 
Dengan demikian nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standar profesi memberikan jalan, pedoman, tolak ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya secara matang baik atau buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab secara integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif) tetapi menekankan pada kepentingan yang lebih luas (obyektif). 
 
Dalam hal ini seorang PR dituntut bekerja secara lebih baik dan profesional yang harus mengikuti kaidah dan norma yang diatur dalam pedoman seperti yang termuat dalam kode etik profesi khususnya kode etik profesional humas.
 Kegunaan etika dan etiket secara umum dan khusus dalam interaksi antar profesi  
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tanggapan kesusilaan atau etis, sama halnya dengan berbicara moral. Manusia dapat dikatakan etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya dan diantara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk didalamnya membahas nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika.

Funk dan Wagnall mendefinisikan etiket sebagai peraturan yang dibuat secara konvensional untuk berperilaku dalam masyarakat yang sopan atau kehidupan resmi atau profesional. Dengan menghilangkan kata masyarakat yang sopan menghasilkan definsi tentang etika, definisi etiket sebagai kode perilaku etis yang menyangkut tindakan atau praktek profesional diantara para anggota sebuah profesi dalam hubungan mereka satu sama lain.

Kode etik, seperti yang dibuat oleh asosiasi profesi seperti institute of public relations, sebenarnya tidak lebih dari konvensi bagi perilaku dalam menerapkan standar moral pada masalah-masalah praktis.

Etiket membahas perilaku yang tepat dan benar dalam situasi personal serta bisnis dan memiliki, sebagai akarnya rasa hormat pada orang lain, jelas bahwa memiliki perilaku yang baik merupakan kunci untuk berperilaku dengan cara-cara yang dapat diterima.

Emerson mengatakan, menghindari bersikap berlebihan adalah keharusan dalam berperilaku sebagai sebuah peraturan etiket dalam PR, pantas dipertimbangkan. Beberapa hal yang penting dalam melakukan etiket adalah sebagai berikut: 
  • Apakah anda selalu mengucapkan kata “tolong dan terima kasih”, bahkan ketika orang lain hanya melakukan hal-hal yang sudah menjadi tugas mereka. 
  • Apakah anda selalu hati-hati dalam memberitahu terutama ketika seseorang melakukan sesuatu untuk anda. Jika anda tidak dapat mengatakannya pada saat itu, apakah anda ingat untuk mengatakannya? 
  • Apakah anda selalu mencari privasi untuk membicarakan hal-hal yang tidak menyenangkan? 
  • Apakah anda selalu mengontrol temperamen anda? 
  • Apakah anda menahan diri untuk tidak menggunakan bahasa yang kasar atau kotor bahkan ketika anda dalam tekanan? dan bahkan dalam e-mail bisnis? 
  • Apakah anda menahan diri untuk tidak mengucapkan hal-hal yang berbau perbedaan jenis kelamin atau membuat lelucon seks? 
  • Apakah anda memperlakukan orang lain dengan tingkat formalitas yang anda harapkan anda terima dari orang lain.

A. Parsons and Parsons (1992) health care ethics, Toronto, Wall dan Emerson, menurut Richard L. Johannesen, dalam bukunya etika komunikasi memuat pertanyaan dasar yang dipakai sebagai alat untuk membuat penilaian etika komunikasi adalah sebagai berikut: 
  • Mampukah saya menjelaskan dengan tepat apa kriteria, standar atau perspektif etika yang diterapkan pada saya atau orang lain? Apakah dasar yang konkrit bagi penilaian etika? 
  • Mampukah saya membenarkan kelogisan dan relevansi standar ini untuk kasus tertentu? Mengapa kriteria etika yang sangat sepadan ini termasuk standar yang sangat potensial? Mengapa standar ini mendapat prioritas (setidaknya untuk sementara) di atas standar relevan lainnya.
  • Mampukah saya menunjukkan dengan jelas dalam hal apa komunikasi dinilai berhasil atau gagal dalam memenuhi standar-standar itu? Penilaian apa yang dibenarkan dalam kasus ini tentang derajat keetisan? Apakah penilaian yang paling cocok adalah penilaian yang memiliki sasaran  yang spesifik dan terfokus sempit dari pada penilaian yang luas, digeneralisasi dan serba mencakup?
  • Kepada siapakah tanggung jawab etis harus diberikan? Dengan cara apa dan sejauh mana? Tanggung jawab mana  yang lebih utama? Apakah tanggung jawab komunikator terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat luas ?
  • Bagaimana perasaan saya tentang diri sendiri berdasarkan pilihan etika ini? Dapatkah saya melanjutkan hidup dengan cara sendiri dengan mengikuti hati nurani? Apakah saya ingin orangtua saya atau pasangan saya mengetahui pilihan ini?
  • Mampukah keetisan komunikasi ini dibenarkan sebagai refleksi yang melekat pada pribadi komunikator? Menurut etika sejauh mana pilihan ini keluar dari karakter ?
  • Jika diminta secara terbuka untuk membenarkan etika komunikasi saya, sejauh mana saya mampu melakukannya? Apakah setiap alasan umumnya dapat diterima
  • Apakah preseden atau kasus yang serupa sebelumnya dapat saya gunakan untuk mendapatkan pedoman etika? Apakah yang membedakan aspek-aspek penting contoh ini dari yang lain ?
  • Berapa jauhkah alternatif dikembangkan sebelum menentukan pilihan tertentu? Mungkinkah alternatif ini kurang etis daripada beberapa pilihan yang dapat digunakan, tetapi segera ditolak atau diabaikan? Jika satu-satunya jalan menuju keberhasilan mencapai tujuan komunikator mensyaratkan digunakan beberapa teknik komunikasi yang tidak etis, adakah pilihan realistik (paling tidak untuk sementara) untuk menahan diri dari komunikasi atau untuk tidak berkomunikasi sama sekali) 
Sebenarnya dalam membuat penilaian etika komunikasi tetap didasarkan pada pelaku komunikasi itu sendiri, baik komunikator maupun komunikannya. Kesadaran untuk membuat penilaian secara etis didasarkan pada suara hati, atau hati nuraninya. Suara hati adalah kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai manusia dalam situasi konkrit. Pada saat inilah perspektif situasi akan berpengaruh dalam membuat penilaian etis.


DAFTAR PUSTAKA
Keraf, A. Sonny, 1991, Etika Bisnis Membangun Citra, Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Jakarta Kanisus.

Parson, J, Patricia, 2004, Ethics in Public Relations, Published by Arrangement with Kogan Page Ltd, 120 Pentoville Road, London, Ni 9JN, Alih Bahasa Sigit Purnomo, 2007, Etika Public Relations, Erlangga.

Ruslan, Rosady, 1995, Aspek-aspek Hukum dan Etika Dalam Aktivitas Public Relations Kehumasan, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Ruslan, Rosady, 2002, Etika Kehumasan, Konsep dan Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo.  

Soekanto, Soerjono dan Purbacaraka Purnadi, 1989, Perihal Kaidah Hukum Bandung, Citra Aditya Bakti.

Sumarno, Kismiati El-Karimah, Ninis, Agustini Damayani, 2004, Filsafat dan Etika Komunikasi, Jakarta, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...